Loading...
Senin, 02 Oktober 2017

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK UNGGAS


BAB I
PENDAHULUAN
            Unggas merupakan sekelompok burung (aves) yang dapat memberikan keuntungan bagi manusia apabila didomestikasi dan dipelihara dengan baik dan benar. Anatomi unggas terdiri atas sistem reproduksi, sistem kekebalan tubuh, sistem digesti, sistem respirasi, sistem urinari dan lain-lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan unggas adalah tentang kandang dan ransumnya. Kandang merupakan tempat tinggal bagi ternak untuk menghabiskan seluruh hidupnya atau sebagian hidupnya dan untuk berlindung dari berbagai macam bahaya yang berasal dari predatornya dan lingkungannya. Ransum merupakan campuran dari dua bahan pakan atau lebih yang dapat diberikan pada ternak untuk memenuhi kebutuhan nutrien selama 24 jam dan tidak menimbulkan berbagai masalah bagi ternak tersebut.
            Tujuan dari praktikum Pengetahuan Ternak Unggas adalah unuk mengetahui berbagai jenis unggas sesuai dengan tipe dan karakteristiknya, perbedaan antara unggas darat dan air, mengetahui perbedaan anatomi dan fisiologis antara unggas darat dan air, mengetahui jenis dan bentuk bahan pakan unggas, mengetahui berbagai jenis kandang unggas serta konstruksinya. Manfaat yang dapat diperoleh dari praktikum Pengetahuan Ternak Unggas adalah dapat mengetahui berbagai jenis unggas yang ekonomis untuk diternakan, mengenali berbagai macam penyakit pada unggas, dapat menyusun ransum yang tepat bagi unggas dan mengetahui layout kandang yang tepat bagi unggas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.        Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas          
Ternak unggas merupakan unggas yang telah mengalami domestifikasi yang memiliki bulu dan sayap yang dipelihara untuk diambil produksinya berupa daging dan telur (Susilorini dkk., 2008). Klasifikasi unggas dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu unggas darat meliputi ayam, kalkun, puyuh dan merpati sedangkan unggas air terdiri dari itik, entog dan angsa (Suprijatna dkk., 2005). Usaha peternakan unggas umumnya menggunakan jenis ternak yang unggul yang mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi, ternak unggas yang sering digunakan dalam usaha peternakan antara lain ayam broiler, ayam petelur, itik dan kalkun (Tangendjaja, 2007).

2.1.1.     Klasifikasi secara internasional
Ternak unggas berdasarkan buku The American Standart of Perfection dibagi menjadi empat kelas besar menurut persamaan dan perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh ternak tersebut yaitu kelas Amerika, kelas Inggris, kelas Mediterania dan kelas Asia (Suprijatna dkk., 2005). Pengklasifikasian ayam dilakukan berdasarkan tempat asal dan bentuk fisik menurut kelas, bangsa, varietas dan strain (Rahayu dkk., 2013).


2.1.2.     Klasifikasi berdasar tujuan pemeliharaan
Ternak unggas dipelihara bisa untuk penghasil anakan (DOC), penghasil daging, penghasil telur, sebagai ternak dwiguna dan dapat dijadikan untuk kesenangan atau fancy (Rahayu dkk., 2013). Ayam dengan tipe petelur, tipe pedaging dan tipe dwiguna merupakan ayam yang paling banyak dikembangkan untuk komersial (Yuwanta, 2004).

2.1.3.     Unggas Darat
Unggas darat merupakan unggas yang banyak menghabiskan sebagian besar waktunya di darat. Golongan yang termasuk unggas darat antara lain ayam, kalkun dan puyuh (Susilorini dkk., 2008). Perbedaan dari unggas darat dan unggas air antara lain kaki yang tidak berselaput, paruh yang runcing, kepala yang tidak berjengger serta bulu yang tidak berminyak (Yuwanta, 2004).

2.1.3.1. Ayam
Ayam merupakan salah satu jenis unggas yang lazim untuk dikonsumsi dan memiliki nilai gizi yang tinggi untuk dikonsumsi. Daging ayam mengandung gizi yang tinggi karena kaya akan protein dan lemak (Fadilah, 2004). Tingkat konsumsi daging ayam yang tinggi maka ayam banyak dibudidayan dari skala kecil hingga skala industri. Ayam tipe pedaging memiliki tubuh yang besar, pertumbuhannya sangat cepat, akan tetapi produksi telur rendah, memiliki kulit bewarna putih dan memiliki tempramen yang kalem (Suprijatna dkk., 2005). Ayam petelur memiliki ciri-ciri bertubuh ringan, memiliki produksi telur yang tinggi dan periode bertelur tinggi. Ayam sangat mudah stres karena cekaman sehingga sangat rentan terjangkit penyakit (Pratiwi, 2008).
2.1.3.2. Puyuh
               Puyuh merupakan unggas darat berukuran kecil yang berbentuk agak bulat dengan kedua kaki yang kecil dan kuat, badannya dipenuhi bulu berwarna coklat dengan bercak-bercak abu-abu dan hitam (Wuryadi, 2011). Puyuh termasuk jenis unggas monomorfik yaitu unggas yang sulit dibedakan jenis kelaminnya berdasarkan warna bulu yang dimiliki (Lambey dkk., 2013). Identifikasi jenis kelamin pada puyuh yaitu dengan melihat ukuran tubuh, dimana ukuran tubuh puyuh betina lebih besar dari yang jantan (Vali dan Doosti, 2011).

2.1.3.3. Merpati
Merpati dapat dimanfaatkan sebagai unggas atau hewan penghasil daging (King, Carneau, French, Swiss Mondain dan Runt), ketangkasan (Homer, Birmingham, Parlor Tumbler) dan hias (Indian, American fantail, Pouter, Jacobin, Swallow, Chinese owl  dan  English  trumpeter) (Darwati, 2012). Merpati pada umumnya memiliki ciri-ciri bulu yang bagus dan mengkilap dan berwarna abu-abu, hitam, coklat kemerahan serta putih (Suparman, 2007). Merpati hias cenderung memiliki bentuk dan warna bulu yang menarik sehingga banyak diminati untuk dijadikan hewan peliharaan (Kadri dkk., 2016).




2.1.4.     Unggas Air
              Unggas air merupakan unggas yang hidupnya sebagian besar dihabiskan tempat yang lembab dan becek, unggas air memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari unggas darat, seperti kakinya yang mempunyai selaput, paruhnya yang ceper dan bulunya yang mempunyai kelenjar minyak, unggas air memiliki semua itu karena menyesuaikan dengan habitatnya yang sebagian besar dipenuhi dengan air dan tempat becek (Martawijaya dkk., 2005). Itik alabio adalah salah satu jenis unggas air yang mempunyai bentuk tubuh segitiga, warna bulu itik jantan abu–abu kehitaman dan kuning keabu–abuan pada bitik betina serta memiliki warna kuning pada paruh dan kaki (Suharno dan Amri, 2010).

2.1.4.1. Itik
              Itik merupakan salah satu dari jenis unggas air yang dwiguna dapat dimanfaatkan telur maupun dagingnya (Susanti dan Prasetyo, 2008). Itik lebih potensial jika dipelihara sebagai unggas penghasil telur karena dengan ciri-ciri tubuh ramping, berdiri tegak seperti botol dan lincah sangat cocok untuk tipe unggas petelur (Purnamaningsih, 2010).

2.1.5.     Perbedaan Unggas Darat dan Unggas Air
              Dunia perunggasan telah dibedakan menjadi unggas darat seperti ayam dan unggas air seperti itik dimana penggolongan ini didasarkan atas habitat dari unggas tersebut (Arifah dkk, 2013). Perbedaan unggas darat dari unggas air antara lain kaki yang tidak berselaput, paruh yang runcing, kepala yang tidak berjengger serta bulu yang tidak berminyak (Yuwanta, 2004). Unggas air memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari unggas darat, seperti paruhnya yang ceper dan bulunya yang mempunyai kelenjar minyak, unggas air memiliki semua itu karena menyesuaikan dengan habitatnya yang sebagian besar dipenuhi dengan air dan tempat becek serta jenis pakan yang berbeda (Martawijaya dkk., 2005).

2.2.        Anatomi dan Identifikasi Penyakit Ternak Unggas
Anatomi interior unggas terdiri dari sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem urinari, sistem reproduksi, sistem peredaran darah dan sistem saraf (Fadilah, 2004). Organ pencernaan unggas lebih sederhana dibandingkan dengan organ pencernaan ruminansia karena tidak memiliki gigi dan tulang rahang yang berotot dan besar sehingga pakan utamanya berupa biji-bijian yang dapat dicerna di gizzard (Wijaya, 2010). Sistem Identifikasi penyakit dapat dilakukan dengan cara membedah bangkai ayam yang terkena penyakit, pembedahan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui penyakit yang meyerang unggas tersebut, identifikasi dilakukan dengan melihat perubahan organ organ tubuh yang terserang penyakit (Fadilah dan Polana, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan anatomi tubuh unggas dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya yaitu, kondisi lingkungan meliputi cuaca dan iklim serta jenis  pakan yang diberikan kepada unggas (Mardiah, 2015).


2.2.1.     Sistem Pencernaan
               Sistem organ saluran pencernaan pada unggas terdiri dari mulut, esophagus (kerongkongan), tembolok (crop), proventikulus, rempela (gizzard), usus halus, usus buntu (seka), usus besar dan kloaka (Ihsan, 2006). Rampela (gizzard) berfungsi untuk mencerna pakan secara mekanik dengan cara menghaluskan pakan dengan bantuan gird atau batu kecil yang ikut tertelan masuk ke dalam rampela (Arief, 2000). Usus halus terdiri dari beberapa bagian yang dimulai dari duodenum, jejunum dan berakhir di ileum, di dalam usus halus terjadinya pencernaan secara enzimatis dengan bantuan enzim yang disekresikan oleh pankreas dan penyerapan nutrisi pakan (Arista, 2012). Pemberian pakan yang memiliki serat tinggi dapat meningkatkan bobot gizzard, sekum dan usus halus. Hal ini disebabkan karena usus halus bekerja menjadi lebih berat untuk memaksimalkan pencernaan (Has dkk., 2014).

2.2.2.     Sistem Pernapasan
              Sistem respirasi pada unggas terdiri dari organ nasal cavaties, larynx, trachea, bronchi, paru-paru, kantong udara dan udara yang tertentu yang terletak pada tulang (Suprijatna dkk., 2005). Alat pernapasan pada unggas memiliki fungsi utama sebagai saluran pertukaran oksigen dan karbondioksida dan juga berfungsi untuk mengatur suhu tubuh (Fadilah dan Polana, 2005). Sistem pernapasan pada setiap unggas pada umumnya sama, perbedaannya hanya pada ukuran organ. Penyebaran penyakit Infections Bronchitis (IB) sangat cepat terutama pada ternak muda dengan gejala berupa ngorok, batuk dan sesak nafas (Annisaa, 2013). Perbedaan ukuran hewan juga berpengaruh terhadap ukuran organ yang ada di dalamnya (Rhaesa, 2007). Penyakit Infections Bronchitis (IB) disebabkan oleh virus Infections Bronchitis yang menyerang sistem pernapasan (Tarmudji, 2007).

2.2.3.     Sistem Reproduksi Jantan
              Sistem reproduksi jantan pada unggas terdiri dari testis dengan epididimis, tetapi vas deferens dan alat kopulasi pada unggas berbeda dengan penis pada hewan mamalia (Afiati dkk., 2013). Testis unggas terletak di dalam tubuh unggas, yaitu diantara tulang belakang bagian dalam dan bagian perut (Fadilah dan Polana, 2011). Alat kopulasi unggas mengalami rudimenter pada ayam berupa papila (penis), kecuali pada itik berbentuk spiral dengan panjang 1218 cm. Papila berfungsi untuk menghasilkan cairan transparan yang bercampur dengan sperma pada saat terjadinya kopulasi (Yuwanta, 2004).

2.2.4.     Sistem Reproduksi Betina
Sistem organ reproduksi unggas betina dimulai dari pembuatan sel telur di ovarium, infundibulum, magnum, isthmus, uterus, vagina dan bermuara di saluran kloaka (Hidayat dkk., 2011). Penangkapan sel ovum yang sudah masak dilakuakn oleh infundibulum dan diteruskan ke magnum (Subekti, 2007). Perbedaan yang terdapat pada sistem dan organ reproduksi betina pada unggas salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan umur antar masing-masing unggas serta jenis unggas (Masyud, 2007). Yolk peritonitis merupakan salah satu penyakit yang menyerang sistem reproduksi betina unggas (Nugroho dkk., 2002).

2.2.5.     Sistem Urinari
              Sistem urinari pada unggas terdiri oleh sepasang ginjal yang memiliki tiga lobus dan setiap ginjal berhubungan dengan ureter yang memiliki fungsi untuk menyalurkan urin menuju kloaka (Moreng dan Avens, 1985). Urin dari ureter akan tercampur dengan kotoran dari usus besar lalu akan dikeluarkan bersama-sama melalui kloaka (Winter dan Funk, 1960).

2.2.6.     Sistem Kekebalan Tubuh
              Thymus adalah lobus yang memiliki warna putih sedikit merah muda dan terletak disepanjang leher unggas (Winter dan Funk, 1960). Limpa pada unggas berbentuk bulat dan sedikit lonjong, memiliki warna coklat kemerahan dan berada diantara preventrikulus serta hati (Rosevita, 2010). Bursa of fabricious akan mengalami penyusutan ukuran ketika sering memproduksi antibodi sehingga bursa of fabricious sangat sulit untuk ditemukan pada ayam atau unggas yang telah dewasa (Fetriza, 2013).

2.3.      Formulasi Ransum Ternak Unggas
            Ransum adalah campuran beberapa bahan pakan yang mengandung nutrien lengkap yang dapat memenuhi kebutuhan ternak sehingga ternak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tujuan pemeliharaan ternak (Siregar, 2009). Ransum unggas dibuat dengan memperhatikan kebutuhan gizi unggas dan kandungan nutrien dalam bahan pakan yang akan digunakan sebagai campuran dalam penyusunan ransum (Rasyaf, 2008).           

2.3.1.   Cara Pencampuran Ransum
Penyusunan ransum merupakan pencampuran nutrisi dalam bahan pakan sesuai dengan kebutuhan pada ternak (Rasyaf, 2008). Penyusunan dasar ransum biasanya dilakukan dengan metode pearson square, trial and eror. Pearson square menggunakan operasi penjumlahan dan pengurangan dengan sudut pandang segi empat pada bahan pakan yang sederhana untuk mengetahui kebutuhan pakan, kualitas nutrisi dalam ransum yang bertujuan untuk menyeimbangkan perbandingan komposisi bahan pakan (Flanders dan Gillespie, 2015).
Trial and error merupakan metode pencampuran bahan pakan dalam ransum dengan cara coba-coba melalui presentase kandungan bahan dan komposisinya dalam pemenuhan kebutuhan ternak dan cara ini paling banyak digunakan karena mudah dan cepat (Darmana dan Sitanggang, 2004). Metode trial and error digunakan untuk memperoleh ransum lengkap dengan perhitungan nutrien sebagai pakan pembatasnya (Suci, 2013).
Bahan pakan yang baik harus melewati beberapa tahap yaitu uji fisik, biologis dan kimia (Murtidjo, 1987). Ransum merupakan campuran dari beberapa jenis bahan pakan yang memiliki bau, warna yang identik dengan bahan pakan tersebut serta tingkat toksikasi yang rendah (Kartadisastra, 1994). Pencampuran bahan pakan menjadi ransum sebelumnya bahan pakan harus ditimbang dari yang komposisinya terbanyak sampai yang paling sedikit lalu dilakukan pencampuran secara keseluruhan hingga homogen (Wibawa dkk., 2015). Kebutuhan protein yang harus dipenuhi pada ayam broiler minimal 36% sedangkan energi metabolisme minimal 2.100 kkal/kg (SNI No. 3148.5: 2009).

2.3.2.   Cara Penyajian Ransum                       
Ransum pada ternak dapat diberikan dalam bentuk tepung komplit yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak (Rasyaf, 2006). Agar lebih memudahkan ternak dalam mengkonsumsi pakan dan meningkatkan palatabilitas pakan dapat dijadikan dalam bentuk pellet (Nuraini dkk., 2008). Pakan ternak unggas memiliki bentuk yang berbeda-beda, ada yang berbentuk tepung atau mash, butiran atau crumble dan bentuk pellet, dari masing-masing bentuk pakan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya (Zainuddin, 2005). Interval waktu pemberian pakan yang sering dapat meningkatkan konsumsi ternak karena pakan yang diberikan segar atau baru dapat meningkatkan palatabilitas ternak sehingga dapat meningkatkan produktivitas (Rachmawati dkk., 2004).

2.4.      Sistem Kandang
Kandang merupakan tempat tinggal bagi ternak yang berfungsi melindungi ternak dari berbagai macam ancaman yang bisa mengganggu (Djarijah, 1996). Sistem kandang adalah cara yang dilakukan oleh peternak untuk memelihara ternak di dalam kandang yang dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem kandang close house (tertutup) dan sistem kandang terbuka (open house) (Martawijaya dkk, 2005). Kandang close house adalah sistem kandang dengan kandang tertutup dari lingkungan luar untuk mengatur suhu yaitu dengan menggnakan pengatur suhu atau blower, kandang dengan sistem terbuka yaitu kandang yang memungkinkan udara dari lingkungan masuk dan keluar kandang secara bebas (Rahayu dkk., 2011).

2.4.1.   Layout Kandang
Kandang yang baik untuk ternak yaitu kandang yang menghadap ke arah Timur - Barat karena berpengaruh pada persentase pencahayaan yang diterima oleh ternak (Salale dkk., 2014). Kandang peternakan rakyat maupun konvensional ada beberapa yang tidak memperhatikan arah kandang karena menyesuaikan dengan lahan (Budiraharjo, 2009). Kandang yang baik akan dibangun dengan memperhatikan lingkungan salah satunya dengan memperhatikan jarak kandang dengan pemukiman minimal 6 meter (Faradis, 2009).
2.4.2.   Konstruksi Kandang
Konstruksi kandang meliputi jenis atap, bahan dinding dan tipe lantai (Marconah, 2012). Keuntungan menggunakan atap monitor adalah sirkulasi udara dalam kandang menjadi lebih lancar sehingga meningkatkan kesehatan ternak, namun memiliki kelemahan yaitu membutuhkan biaya yang besar (Afandi, 2012). Penggunaan atap yang berasal dari bahan asbes mampu menyerap panas lebih banyak sehingga mngakibatkan suhu di dalam kandang menjadi lebih panas, sehingga dalam penggunaannya harus dikombinasi dari bahan lain yang mampu mengurangi penyerapan panas (Suhaely, 2008). Kandang semi close house dapat menggunakan kawat yang dianyam sebagai dinding yang berfungsi sebagai ventilasi (Diqi, 2011). Penggunaan  kandang tipe slat dapat mengurangi cekaman panas dalam kandang dan dapat mengurangi kelembaban serta polusi amonia karena sirkulasi udara yang lancar (Sari dkk., 2012).

2.4.3.   Kapasitas dan Daya Dukung Kandang
            Daya tampung kandang adalah estimasi banyaknya jumlah ternak yang dapat menempati suatu kandang dengan luas tertentu (Suryana, 2013). Kandang untuk ayam petelur umumnya berupa kandang battery yang setiap kandang berisi satu ekor ayam dan memiliki ukuran 40 cm x 30 cm x 40 cm dan pada umumnya terbuat dari kawat dan bilah bambu (Suprijatna dkk., 2005). Kandang yang memiliki kepadatan tinggi dapat mengakibatkan persaingan atau kompetisi dalam mendapatkan pakan, air minum serta oksigen antar ayam petelur sehingga produktivitas menurun (Gustira dkk., 2015).


BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Unggas dengan materi Pengenalan Jenis Ternak Unggas dan Anatomi, Fisiologi dan Identifikasi Penyakit Ternak Unggas yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 9 Maret pukul 15.00-18.00 WIB, materi Formulasi Ransum Unggas dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 23 Maret 2017 pukul 15.00 – 18.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Unggas dan Laboratorium Penetasan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1.        Materi
              Materi yang digunakan pada praktikum Pengenalan Jenis Ternak Unggas Anatomi dan Identifikasi Penyakit Ternak Unggas yaitu unggas ayam, itik, merpati dan puyuh yang masing-masing berkelamin jantan dan betina serta desinfektan yang digunakan untuk membunuh kuman. Alat yang digunakan dalam praktikum adalah gunting dan pisau berfungsi untuk melakukan pembedahan dan pemotongan organ-organ unggas, nampan untuk meletakkan organ-organ yang telah dipisahkan dengan organ yang lainnya, timbangan untuk menimbang berat setiap organ pada unggas, pita ukur untuk menghitung panjang setiap organ pada unggas dan alat tulis untuk mencatat hasil praktikum.
              Materi yang digunakan pada praktikum Formulasi Ransum Unggas yaitu laptop untuk menghitung formulasi ransum, nampan sebagai tempat bahan pakan, timbangan untuk menimbang bahan pakan, buku dan alat tulis untuk mencatat hasil pengamatan. Bahan yang digunakan adalah bahan pakan berupa : Jagung, Bekatul, Bungkil kedelai, Tepung ikan, MBM, CPO (Crude Palm Oil), Premik. Materi yang digunakan pada praktikum Perkandangan yaitu meteran untuk mengukur panjang, lebar, dan tinggi kandang dan alat tulis untut mencatat hasil pengukuran.

3.2.        Metode
              Metode yang dilakukan pada praktikum Pengenalan Jenis Ternak Unggas yaitu dengan cara diamati organ eksterior unggas yang yang telah dibawa baik jantan dan betina kemudian diamati perbedaan organ eksterior antara unggas betina dan jantan pada masing masing jenis unggas.
              Metode yang dilakukan pada praktikum Anatomi dan Identifikasi Penyakit yaitu pada praktikum ini praktikan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok ayam dan itik di Labolatorium Unggas dan kelompok merpati dan puyuh di Labolatorium Penetasan. Sebelum dibedah, dilakukan pengamatan eksterior dan di dokumentasi. Unggas ditimbang bobot hidupnya sebelum disembelih. Unggas yang sudah disembelih ditimbang bobot matinya. Unggas pada saat disembelih ditampung darahnya atau bleeding, dicatat berapa lama darah keluar saat disembelih sampai darah berhenti keluar dari ayam. Unggas dibedah untuk diambil organ dalamnya. Organ yang diambil berupa organ pencernaan, organ pernapasan, organ reproduksi dan organ urinari. Organ yang telah diambil tersebut diukur kemudian ditimbang disesuaikan dengan kelompok organ tersebut.
Metode yang dilakukan pada praktikum Formulasi Ransum Unggas yaitu diamati organoleptik bahan pakan yang akan diformulasikan ransum, dihitung komposisi ransum yang dibutuhkan pada ternak yang ditentukan dengan metode trial and error, ditimbang bahan pakan sesuai dengan perhitungan, kemudian di formulasikan bahan pakan yang akan di formulasi ransum. Metode yang dilakukan pada praktikum Perkandangan yaitu kandang diukur panjang, lebar, dan tinggi kandang. Kemudian dicatat hasil pengukuran di buku catatan.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.        Pengenalan Jenis dan Klasifikasi Ternak Unggas
Klasifikasi pada ternak unggas dapat dilakukan berdasarkan taksonomi zoologi, buku The American Standart of Perfection dan tujuan dari pemeliharaannya. Berdasarkan standar dalam buku The American Standar of Perfection maka unggas dapat digolongkan berdasarkan kelas, bangsa, varietas dan strain. Golongan kelas berdasarkan buku The American Standart of Perfection dibedakan menjadi empat kelas yaitu kelas Amerika, kelas Inggris, kelas Mediterania dan kelas Asia. Berdasarkan tujuan dipeliharanya ternak unggas dapat dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe pedaging sebagai penghasil daging, tipe petelur sebagai penghasil, tipe dwiguna (tipe pedaging dan tipe petelur) dan tipe fancy. Menurut Rahayu dkk. (2013) bahwa berdasarkan asal tempat ternak tersebut dibudidayakan maka dibagi menjadi empat kategori kelas yaitu kelas Amerika, kelas Inggris, kelas Mediterania dan kelas Asia. Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa klasifikasi unggas berdasarkan habitatnya atau tempat tinggalnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu unggas darat (ayam, merpati, puyuh) dan unggas air (itik, angsa).




4.1.1.      Ayam
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,diperoleh hasil sebagai berikut:
              Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa ayam merupakan salah satu jenis unggas darat. Ayam yang digunakan dalam praktikum termasuk dalam golongan ayam ras yaitu tipe pedaging (broiler). Ayam broiler merupakan bangsa ras unggul hasil persilangan antara bangsa ayam Cornish dari Inggris dengan ayam White Play Mounth Rock dari Amerika. Ayam memiliki klasifikasi taksonomi zoology bergenus Gallus dan spesies Gallus domesticus. Menurut Fadilah dan Polana (2005) yang menyatakan bahwa ayam termasuk filum Chordata, sub filum Vertebrata, Kelas Aves, sub kelas Neornithes, subordo Carinatae dan genus Gallus dan spesies Gallus domesticus. Ayam broiler yang digunakan dalam praktikum termasuk ayam tipe pedaging karena memiliki pertumbuhan badan yang cepat, produksi telur rendah, bentuk tubuh besar serta bulu yang rapat ke tubuh, tubuh penuh daging dan lemak, bertempramen tenang serta memiliki kaki yang relatif pendek dan besar. Menurut Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa karakteristik ayam tipe pedaging adalah bentuk tubuh yang besar, pertumbuhannya cepat, produksi telur rendah, kulit berwarna putih dan tempramennya kalem.
              Perbedaan ayam jantan dan ayam betina yaitu ayam jantan memiliki perawakan yang lebih tegak, gagah dan berbadan besar, jengger yang besar dan lebih bergerigi. Ayam yang berjenis kelamin betina terlihat dari tubuhnya yang lebih pendek dan lemas, kaki yang lebih kecil, mata yang kecil serta jenger yang lebih tipis dan tidak terlalu bergerigi. Menurut Sujionohadi dan Setiawan (2010) menyatakan bahwa perbedaan atara ayam jantan dan betina antara lain adalah pada ayam jantan tubuhnya lebih besar dan terlihat tegap dibandingkan betina, mata ayam jantan lebih besar dan bercahaya sementara mata ayam betina lebih kecil dan awas, serta jengger pada ayam jantan lebih besar dan bergerigi dibandingkan dengan betina. Perbedaaan antara ayam jantan dan betina dapat dilihat dari paruh dan bulunya. Menurut Iswanto (2005) menyatakan bahwa paruh ayam jantan lebih besar dan pendek sementara paruh ayam betina lebih kecil dan ramping, pertumbuhan bulu ayam betina lebih cepat dan lebih merata sementara pada ayam jantan lebih lama dan tidak merata.
4.1.2.     Itik
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan,diperoleh hasil sebagai berikut:
gi.
              Itik umumnya mempunyai ciri-ciri bagian tubuh antara lain paruh pipih, badan ramping, kaki berselaput, badan tegak dan bulunya dilapisi lilin yang berfungsi untuk memberi perlindungan agar tidak basah dan kedinginan ketika berada di air. Menurut Suharno dan Amri (2010) menyatakan bahwa itik memiliki ciri-ciri yang spesifik yang menunjukan itik merupakan unggas air yaitu pada kakinya ada selaput dan bulunya yang dilapisi minyak. Kaki berselaput berfungsi untuk memudahkan itik berenang dan bulunya yang berminyak berguna agar bulunya tidak basah ketika itik berenang sehingga suhu tubuh itik dapat dipertahankan atau cenderung konstan. Perbedaan itik jantan dan betina dapat dibedakan dari bobot badan itik jantan memiliki bobot badan yang lebih besar dibanding itik betina. Perbedaan antara itik jantan dan betina juga dapat dilihat dari warna paruh dan warna kakinya, pada itik jantan warna paruh dan warna kakinya lebih hitam dibandingkan dengan itik betina. Menurut Kusumawati dkk. (2012) menyatakan bahwa perbedaan itik jantan dan itik betina dapat dilihat berdasarkan warna paruh dan warna kaki pada itik jantan lebih hitam dari yang betina.
4.1.3.     Puyuh
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:




Ilustrasi 3. Puyuh Jantan dan Puyuh Betina
              Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa klasifikasi puyuh berdasarkan taksonomi zoologi yaitu sebagai berikut kingdom animalia, filum Chordata, kelas Aves, ordo Galiformes, famili Phasianidae, genus Cortunix, spesies Cortunic-cortunix japonica. Puyuh yang digunakan dalam praktikum adalah puyuh petelur. Puyuh petelur dalam pemeliharaannya dibagi menjadi tiga fase yaitu fase starter (0 sampai 3 minggu), grower (3 sampai 5 minggu) dan fase produksi (umur diatas 5 minggu). Puyuh memiliki bagian-bagian antara lain paruh, leher, sayap, bulu, dan kaki. Paruh puyuh berbentuk runcing dan berwarna hitam. Puyuh memiliki leher yang pendek. Kaki pada burung puyuh berukuran kecil dan kuat serta bulu pada tubuhnya berwarna coklat dengan bercak abu-abu dan hitam. Menurut Wuryadi (2011) menyatakan bahwa klasifikasi puyuh yaitu Filum Chordata, kelas Aves, Ordo Galiformes, Famili Phasianidae, Genus Coturnix, Sub Spesies Coturnix-coturnix japonica. Menurut Listiyowati dan Roospitasari (2009) menyatakan bahwa fase pemeliharaan puyuh petelur dibagi menjadi tiga fase yaitu fase starter (0 - 3 minggu), fase grower (3 - 5 minggu) dan fase produksi (diatas 5 minggu).
              Burung puyuh merupakan jenis unggas darat yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil dari ayam, memiliki bagian antara lain paruh, leher, sayap, bulu, dan kaki. Kaki pada burung puyuh berukuran kecil dan kuat serta bulu pada tubuhnya berwarna coklat dengan bercak abu-abu dan hitam. Menurut Wuryadi (2011) menyatakan bahwa puyuh merupakan unggas darat kecil yang gemuk serta bulat dengan kedua kaki yang kecil dan kuat, badannya dipenuhi bulu berwarna coklat dengan bercak abu-abu dan hitam. Perbedaan antara puyuh jantan dan betina antara lain puyuh betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan puyuh jantan, puyuh betina memiliki suara yang lebih nyaring sedangkan puyuh jantan memiliki suara yang lebih keras, puyuh betina memiliki warna merah sawo matang dengan garis-garis atau bercak hitam pada bulu dadanya sedangkan pada puyuh jantan tidak memiliki garis atau bercak hitam pada bulu dadanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Vali dan Doosti (2011) bahwa jenis kelamin pada puyuh dengan melihat ukuran tubuh, dimana ukuran tubuh puyuh betina lebih besar dari yang jantan serta suara puyuh jantan lebih keras dibandingkan dengan puyuh betina.
             
4.1.4.     Merpati
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagai berikut:
Ilustrasi 3. Merpati Jantan dan Merpati Betina
Klasifikasi pada merpati dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara yaitu berdasarkan taksonomi zoologi, tujuan pemeliharaan dan habitat. Berdasarkan taksonomi zoologi merpati diklasifikasikan ke dalam Kingdom Animalia, Filum Chordata, Kelas Aves, Sub Kelas Neornites, Ordo Columba, Family Columbidae, Genus Columbia dan Spesies Columba livia. Klasifikasi merpati berdasarkan tujuan pemeliharaan dibedakan menjadi merpati pedaging, hias dan merpati aduan atau balap. Menurut Darwati (2012) menyatakan bahwa peternak beternak merpati memiliki tujuan yang berbeda-beda, dijadikan sebagai merpati hias, merpati ketangkasan dan ada juga yang diambil dagingnya. Berdasarkan habitat hidupnya merpati digolongkan kedalam unggas darat karena merpati menghabisnya sebagian besar didarat. Ciri yang menunjukkan bahwa merpati merupakan unggas darat karena makanan merpati adalah biji-bijian dengan bentuk paruh runcing. Menurut pendapat Suparman (2007) bahwa merpati memiliki bentuk paruh runcing sehingga memiliki jenis makanan yang berasal dari biji-bijian sehingga merpati dapat digolongkan menjadi unggas darat.
            Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa merpati jantan dan betina dari segi eksterior memiliki perbedaan yaitu dapat dilihat dari bulunya, merpati jantan terdapat bulu yang berwarna senada yang membentuk seperti cincin dileher serta kepala merpati jantan lebih besar daripada betina. Warna bulu merpati beragam dan dari warna bulu tersebut tidak bisa dibedakan antara yang jantan dan betina. Menurut Kadri dkk. (2016) menyatakan bahwa terdapat banyak varian dari warna bulu merpati bulu lampik, perumpung, megan teritis, gambir dan teritis akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai patokan dalam pemilihan jantan dan betina. Merpati jantan memiliki tubuh yang lebih besar dari pada merpati betina. Menurut Zebua (2016) menyatakan bahwa leher yang kokoh, badan besar dan tegap, dada membusung, memekarkan bulu ekor dan menjatuhkan atau merebahkan bulu sayapnya itu merupakan hal yang dapat membedakan merpati jantan dan betina.

4.1.5.     Perbedaan Unggas Darat dan Unggas Air
              Berdasarkan praktikum dengan materi Pengenalan Karakteristik Unggas Darat dan Unggas Air diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1. Perbedaan Unggas Darat dan Air
No
Karakteristik
Unggas Darat
Unggas Air
1
Jengger dan Pial
Ada
Tidak ada
2
Paruh
Runcing
Pipih
3
Makanan
Bijian
Lembek
4
Leher
Pendek
Panjang
5
Bulu
Tidak berminyak
Berminyak
6
Warna Bulu
bervariasi
Satu warna
7
Bentuk Tubuh
Mengembang
Ramping
8
Punggung
Melengkung
Tegak
9
Taji/Jalu
Ada
Tidak ada
10
Bentuk Kaki
Tidak berselaput
Berselaput
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Unggas, 2017.
              Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa unggas berdasarkan habitatnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu unggas darat dan unggas air. Pedoman dalam penggolongan antara unggas darat dan unggas air ada 10, diantaranya adalah jengger dan pial, bentuk paruh, jenis makanan, leher, bulu, warna bulu, bentuk tubuh, punggung, taji/jalu dan bentuk kaki. Hal ini sesuai dengan pendapat Arifah dkk. (2013) menyatakan bahwa dalam dunia perunggasan telah dibedakan menjadi unggas darat seperti ayam dan unggas air seperti itik dimana penggolongan ini didasarkan atas habitat dari unggas tersebut. Hal ini sesuai dengan Yuwanta (2004) bahwa yang membedakan unggas darat dari unggas air antara lain kaki yang tidak berselaput, paruh yang runcing, kepala yang tidak berjengger serta bulu yang tidak berminyak. Paruh pada unggas darat berbentuk runcing sedangkan pada unggas air berbentuk pipih. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan jenis pakan dari kedua jenis unggas tersebut dimana unggas darat jenis pakannya berupa biji - bijian sedangkan unggas air pakannya lebih lembek.
               Bulu pada unggas darat tidak berminyak sedangkan bulu unggas air berminyak yang bertujuan agar bulu unggas air tidak basah ketika berenang. Menurut Martawijaya dkk. (2005) menyatakan bahwa unggas air memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari unggas darat, seperti paruhnya yang ceper dan bulunya yang mempunyai kelenjar minyak, unggas air memiliki semua itu karena menyesuaikan dengan habitatnya yang sebagian besar dipenuhi dengan air dan tempat becek serta jenis pakan yang berbeda. Kaki unggas darat tidak berselaput sedangkan kaki unggas air berselaput. Selaput pada kaki unggas berfungsi untuk mempermudah unggas tersebut untuk berenang. Kaki unggas darat biasa digunakan untuk mencari makanan dengan mengais tanah sedangkan kaki unggas air tidak bisa digunakan untuk mengais tanah. Menurut Siwi (2014) menyatakan bahwa kaki atau ceker yang jari-jarinya berpisah merupakan ciri unggas darat sedangkan unggas memiliki ceker yang berselaput yang berguna untuk mempermudah dalam berenang.
4.2.        Anatomi dan Identifikasi Penyakit Ternak Unggas
Sistem organ yang ada pada unggas terdiri dari sistem pencernaan, pernapasan, reproduksi, urinari dan kekebalan tubuh. Sistem pencernaan pada unggas lebih sederhana daripada sistem pencernaan ruminansia karena unggas tidak memiliki gigi dan rahang yang kuat. Sistem pernapasan unggas lebih kompleks dibandingkan dengan ruminansia karena pada unggas memiliki kantung udara yang dapat digunakann ketika berada di udara atau ketika menyelam di dalam air. Menurut Fadilah (2004) menyatakan bahwa anatomi interior unggas terdiri dari sistem pencernaan, sistem pernapasan, sistem urinari, sistem reproduksi, sistem peredaran darah dan sistem saraf. Identifikasi penyakit adalah langkah yang dilakukan untuk mendeteksi penyakit apa yang menyerang unggas tersebut. yang dapat dilakukan dengan cara pembedahan kepada unggas tersebut. Pembedahan dilakukan untuk melihat perubahan yang terjadi pada organ tubuh unggas yang diserang oleh penyakit dan mengidentifikasi penyakit yang menyerang unggas tersebut. Hal ini sesuai Fadilah dan Polana (2011) dengan pendapat yang menyatakan bahwa pembedahan terhadap unggas adalah untuk mendeteksi penyakit pada unggas.
4.2.1.     Sistem pencernaan
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sistem pencernaan pada ayam, itik, puyuh dan merpati sebagai berikut :

Ilustrasi 5. Sistem pencernaan
Keterangan :    1. Esophagus
                        2. Crop / tembolok
                        3. Proventrikulus
                        4. Ventrikulus / Gizzard
                        5. Usus Halus
                        6. Usus Besar
                        7. Seka
                        8. Rektum
                        9. Kloaka                    

              Berdasarkan hasil pengamatan menunjukan bahwa sistem pencernaan pada ayam, itik, merpati dan puyuh memiliki organ pencernaan yang sama yang terdiri dari paruh, esophagus, crop (tembolok), proventrikulus, ventrikulus (gizzard), usus halus, usus buntu (seka), usus besar dan berakhir di kloaka. Organ aksesoris pada organ pencernaan terdiri dari pankreas dan hati. Hal ini sesuai dengan pendapat Ihsan (2006) menyatakan bahwa sistem organ saluran pencernaan pada unggas terdiri dari mulut, esophagus (kerongkongan), tembolok (crop), proventikulus, rempela (gizzard), usus halus, usus buntu (seka), usus besar dan kloaka. Pakan masuk melalui paruh kemudian menuju ke esophagus dan akan ditampung sementara di crop, pakan selanjutnya masuk ke proventrikulus dan terjadi pencernaan secara kimiawi dan enzimatis, pakan akan menuju ke gizzard  dan terjadi pencernaan secara mekanik yang dibantu oleh gird. Hal ini sesuai dengan pendapat Arief (2000) bahwa gizzard berfungsi untuk mencerna pakan secara mekanik dengan cara menghaluskan pakan dengan bantuan gird atau batu kecil yang ikut tertelan masuk ke dalam rampela.
              Pakan dari gizzard akan menuju ke usus halus, usus halus dibagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum yang berfungsi untuk sintesis enzim yang dihasilkan oleh pankreas, jejenum berfungsi untuk menyerap atau reabsorbsi nutrisi yang terkandung di dalam pakan secara optimal, ileum berfungsi untuk menyerap kembali nutrisi yang tidak terserap secara optimal di dalam jejenum. Menurut Arista (2012) menyatakan bahwa usus halus terdiri dari beberapa bagian yang dimulai dari duodenum, jejunum dan berakhir di ileum, di dalam usus halus terjadinya pencernaan secara enzimatis dan penyerapan nutrisi pakan. Pakan akan masuk ke dalam seka apabila unggas memakan hijauan karena di dalam seka terjadi fermentasi serat kasar, selanjutnya pakan menuju ke usus besar dan akan terjadi penyerapan air dan garam mineral dan terakhir pakan yang tidak terserap akan dikeluarkan melalui kloaka. Menurut Ihsan (2006) menyatakan bahwa seka pada unggas berfungsi sebagai tempat fermentasi dengan bantuan bakteri fermentasi yang akan mendegradasi bahan pakan yang mengandung serat  kasar.
              Berdasarkan hasil pengamatan pada Lampiran 1. dapat diketahui bahwa ukuran panjang dan berat dari setiap unggas bervariasi, bergantung pada ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur unggas. Unggas ayam dan itik umumnya memiliki ukuran organ pencernaan yang lebih panjang dan berat dibandingkan dengan merpati dan puyuh, hal ini karena ukuran tubuh antara ayam dan itik lebih besar daripada merpati dan puyuh. Menurut Arief (2000) menyatakan bahwa ukuran saluran pencenaan masing-masing unggas sangat bervariasi tergantung pada ukuran tubuh, jenis dan tipe pakan serta berbagai faktor-faktor lainnya. Perbedaan paruh ayam, itik, merpati dan puyuh adalah pada segi bentuk, ayam, merpati dan puyuh memiliki paruh yang runcing dan tajam sedangkan itik memiliki paruh yang pipih dan lebar. Paruh pada itik lebih panjang daripada ayam, merpati dan puyuh, karena pada itik paruh digunakan untuk mengambil pakan yang berjenis lembek dan memudahkan mengambil pakan di dalam lumpur. Menurut Rasyaf (1982) menyatakan bahwa itik memiliki paruh yang pipih dan panjang yang berbeda dengan ayam hal ini dikarenakan pakan itik lembek dan itik mencari makan di lumpur.
              Panjang esophagus pada ayam, itik, merpati dan puyuh berbeda, itik memiliki esophagus yang lebih panjang daripada ayam, merpati dan puyuh, hal ini dikarenakan jenis pakan dan behavior makan yang berbeda. Leher yang panjang pada itik menandakan itik memiliki esophagus yang panjang, fungsinya yaitu untuk memudahkan mencari pakan di dalam lumpur dan air. Tembolok pada itik tidak berkembang, tembolok pada bebek berupa esophagus yang membesar dan memanjang. Menurut Puspitasari (2016) menyatakan bahwa itik tidak memiliki tembolok yang sebenarnya, tembolok pada itik berupa esophagus yang ukurannya membesar dan memanjang. Itik memiliki ukuran dan bentuk gizzard yang lebih besar dan memiliki dinding yang kuat bila dibandingkan dengan ayam, merpati dan puyuh, hal ini karena pakan itik mengandung serat kasar yang tinggi sehingga perlu dilakukan penghancuran atau penggilingan pakan di gizzard. Hal ini sesuai dengan pendapat Ihsan (2006) menyatakan bahwa bobot gizzard  berbeda-beda dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya umur, bobot badan dan jenis pakan. Pakan yang bertekstur menyebabkan aktivitas rempela lebih besar sehingga dinding rempela lebih tebal.
              Seka pada merpati umumnya tidak berkembang, hal ini karena merpati tidak mengoknsumsi pakan berupa hijauan sehingga ukuran seka akan mengecil dan kurang berfungsi. Ukuran panjang dan bobot proventrikulus, usus halus, seka, usus besar dan kloaka pada ayam, itik, merpati dan puyuh bervariasi, perbedaan ini disebabkan karena ukuran tubuh, jenis kelamin dan umur unggas, semakin besar ukuran tubuh maka ukuran organ pencernaan akan semakin besar dan semakin tua umur unggas maka ukuran organ pencernaan juga akan semakin berkembang dan memiliki ukuran dan bobot yang relatif besar. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumiarti dan Sumirat (2003) bahwa ternak unggas yang mengkonsumsi serat kasar yang tinggi dapat meningkatkan presentase ukuran panjang dan bobot esophagus, tembolok (crop) , proventrikulus, gizzard, usus halus, seka dan usus besar. Menurut Has dkk. (2014) menyatakan bahwa pemberian pakan yang memiliki serat tinggi dapat meningkatkan bobot gizzard, sekum dan usus halus, karena usus halus bekerja menjadi lebih berat untuk memaksimalkan pencernaan.
              Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa setiap unggas yang digunakan dalam praktikum dalam keadaan sehat hal ini dapat diketahui dengan tidak adanya gejala penyakit atau penyakit pada organ saluran pencernaan pada setiap unggas yang diamati setelah dilakukannya pembedahan. Organ pencernaan yang sehat ditandai dengan tidak adanya bejolan atau perubahan warna pada setiap organ serta tidak adanya produksi cairan atau lender yang berlebihan pada masing - masing organ pencernaan. Menurut Pratiwi (2008) menyatakan bahwa ternak yang sehat memiliki komposisi mikroflora saluran pencernaan relatif tetap, apabila stabilitasnya dan konsistensinya terganggu maka mikroorganisme patogen akan membuat koloni sehingga akan terjadi infeksi yang serius pada unggas. Menurut Apajalahti dkk. (2004) menyatakan bahwa komposisi dan stabilitas mikroba dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh pakan, lingkungan, penggunaan antibiotik dan radiasi.

4.2.2.     Sistem pernapasan
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sistem pernapasan pada ayam, itik, puyuh dan merpati sebagai berikut :

Ilustrasi 6. Sistem pernapasan
Keterangan :    1. Trakea
                        2. Bronkus
                        3. Paru - paru
            Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa sistem pernapasan unggas terdiri dari glotis, trakea, bronkus, bronkeolus dan alveoli. Menurut Suprijatna dkk. (2005) bahwa sistem respirasi yang dimiliki oleh unggas terdiri dari nasal cavaties, laring, trakea, bronkus, paru-paru, kantong udara serta udara tertentu yang ada pada tulang. Fungsi sitem respirasi pada unggas adalah sebagai saluran pertukaran oksigen dan karbondioksida, selain itu juga untuk menjaga suhu tubuh. Menurut Fadilah dan Polana (2005) menyatakan bahwa alat pernapasan pada unggas memiliki fungsi utama sebagai saluran pertukaran oksigen dan karbondioksida dan juga berfungsi untuk mengatur suhu tubuh.
            Berdasarkan hasil pengamatan pada Lampiran 1. dapat diketahui bahwa sistem pernapasan pada unggas tidak memiliki banyak perbedaan. Perbedaan yang nampak dari sitem pernapasan keempat jenis unggas tersebut adalah ukurannya yang berbeda. Perbedaan ukuran organ pernapasan masing–masing unggas dikarenakan ukuran tubuh masing–masing unggas berbeda. Organ pernapasan ayam dan itik lebih besar bila dibandingkan organ pernapasan merpati dan puyuh. Anatomi sistem pernapasannya dan fungsi setiap organ juga sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Annisaa (2013) bahwa sistem pernapasan pada unggas pada umumnya sama. Menurut Rhaesa (2007) menyatakan bahwa perbedaan ukuran hewan juga berpengaruh terhadap ukuran organ yang ada di dalamnya.
            Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa sistem respirasi pada itik jantan mengalami kelainan yaitu pembengkakkan di bronkus. Hal ini diduga karena itik sedang terkena penyakit Infections Bronchitis (IB), sedangkan pada organ pernapasan ternak unggas lainnya tidak ditemukan adanya gangguan atau penyakit pada organ pernapasannya. Menurut Hofstad (1984) menyatakan bahwa unggas yang diduga terkena penyakit Infectious bronchitis (IB) terlihat dengan adanya cairan encer ataupun kental di dalam trakea dan saluran hidung serta terjadi peradangan hingga pembengkakan di area bronchi. Penyakit IB disebabkan oleh virus yaitu  virus Infectious bronchitis. Menurut Tarmudji (2007) menyatakan bahwa penyakit IB disebabkan oleh Infections bronchitisvirus (IBV) yang menyerang sistem pernapasan. Menurut Annisaa (2013) menyatakan bahwa penyebaran penyakit ini sangat cepat terutama pada ternak muda dengan gejala berupa ngorok, batuk dan sesak nafas.

4.2.3.     Sistem reproduksi jantan

Keterangan :    1. Testis
                        2. Vas Deferens                                                 
                        3. Uretra
              Berdasarkan praktikum terhadap sistem reproduksi jantan pada unggas diperoleh hasil bahwa sistem reproduksi unggas jantan terdiri dari sepasang testis, epididimis, ductus deferent dan organ kopulasi. Testis berfungsi sebagai penghasil sel gamet jantan. Vas deferens atau ductus deferens berfungsi mengangkut sperma dari ekor epididimis ke uretra. Alat kopulasi puyuh berupa papila (penis) yang mengalami rudimenter. Kloaka merupakan lubang yang berfungsi sebagai satu-satunya lubang untuk saluran pencernaan, urin dan reproduksi pada unggas. Menurut Afiati dkk. (2013) menyatakan bahwa sistem reproduksi jantan pada unggas terdiri dari testis dengan epididimis, vas deferens dan alat kopulasi yang berbeda dengan penis pada hewan mamalia. Testis terletak diantara tulang belakang bagian dalam dan bagian perut pada tubuh unggas. Menurut Fadilah (2011) menyatakan bahwa testis pada unggas terletak dibagian dalam tubuh unggas, yaitu diantara tulang tulang belakang bagian dalam dan bagian perut.      
            Berdasarkan hasil pengamatan pada Lampiran 1. dapat diketahui bahwa ukuran organ reproduksi yang berbeda-beda tergantung pada jenis unggas dan pakan serta umur unggas.  Alat kopulasi unggas mengalami rudimenter, pada ayam berupa papila (penis) sedangkan pada itik berbentuk spiral. Papila ini diproduksi cairan transparan yang bercampur dengan sperma pada saat terjadinya kopulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuwanta (2004) bahwa alat kopulasi unggas mengalami rudimenter pada ayam yang berupa papila (penis), kecuali pada itik berbentuk spiral dengan panjang 1218 cm. Menurut Hermawan (2000) menyatakann bahwa papila pada unggas jantan berfungsi untuk produksi cairan transparan yang bercampur dengan sperma pada saat terjadinya kopulasi.
         Sistem reproduksi unggas yang diamati normal karena tidak terdapat tanda–tanda adanya penyakit pada organ reproduksi unggas jantan. Tanda-tanda sistem reproduksi jantan yang baik yaitu unggas mampu memproduksi sperma yang maksimal dan melakukan fertilisasi yang baik. Testis yang berfungsi sebagai penghasil sperma harus memiliki ukuran yang sesuai dan normal serta berfungsi secara baik. Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa testis di dalamnya terdapat saluran berukuran kecil yang bergulung-gulung dan berlapis dan disitu sebagai penghasil sprema, untuk menghasilkan sperma yang baik maka fungsi testing juga harus berjalan. Penyakit yang biasa terjadi pada sistem reproduksi unggas diantaranya adalah berak kapur (Pullorum), paratypus, radang tuba fallopi, dan Zearalenone mycotoxicosis. Menurut Fadilah (2004) menyatakan bahwa penyakit pada saluran reproduksi diantaranya paratypus, radang tuba fallopi, dan Zearalenone mycotoxicosis.
4.2.4.   Sistem reproduksi betina
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sistem reproduksi betina pada ayam, itik, puyuh dan merpati sebagai berikut :

Ilustrasi 8. Sistem reproduksi betina
Keterangan :    1. Ovarium
                        2. Infundibulum
                        3. Magnum
                        4. Isthmus
                        5. Uterus
                        6. Vagina
                        7. Kloaka
                       
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa organ reproduksi betina pada ayam, itik, merpati dan puyuh mayoritas sama yang membedakan ukuran organnya dan panjang. Organ reproduksi betina unggas terdiri dari ovarium yang berfungsi untuk memproduksi ovum, infundibulum sebagai penangkap apabila ovum telah masak, magnum tempat sekresi albumen, isthmus sebagai sekresi membrane albumen, uterus sebagai tempat sekresi cangkang, vagina untuk mensekresikan mukus dan kloakan sebagai muara terakhir yang terdapat tiga saluran sekaligus. Infundibulum selain berfungsi untuk menangkap sel ovum juga sebagai tempat fertilisasi bertemunya sel jantan dan sel betina. Menurut pendapat Hidayat dkk. (2011) bahwa sel telur dihasilkan oleh ovarium kemudian disalurkan pada infundibulum sebagai penangkap sel telur yang sudah masak, diteruskan pada magnum, itsmus, uterus, vagina dan terakhir bermuara di organ kloaka. Menurut Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa dalam saluran reproduksi betina terjadi fertilisasi atau bertemunya sel sperma dan ovum yang mana hal tersebut terjadi didalam infundibulum setelah ovum yang masak ditangkap infundibulum.
Berdasarkan hasil pengamatan pada Lampiran 1. dapat diketahui bahwa ukuran organ reproduksi yang berbeda-beda tergantung pada jenis unggas dan pakan serta umur unggas. Organ reproduksi yang berbeda terdapat pada ukuran besar dan panjang mempengaruhi ukuran telur yang dihasilkannya, semakin besar saluran reproduksinya maka semakin besar pula telur yang dihasilkannya. Menurut Masyud (2007) menyatakan bahwa perbedaan yang terdapat pada sistem dan organ reproduksi betina pada unggas salah satunya disebabkan karena adanya perbedaan umur antar unggas tersebut. Menurut Arief (2000) menyatakn bahwa setiap unggas memiliki varian bentuk sistem pencernaan yang dipengaruhi oleh umur unggas tersebut, tipe dan pakan.
Sistem reproduksi betina yang diamati normal karena tidak terdapat tanda-tanda penyakit yang menyerang pada sistem reproduksi betina baik di ayam, itik, puyuh maupun merpati. Sistem reproduksi dapat dikatakan baik atau normal apabila unggas tersebut dapat melakukan atau menghasilkan produk misalnya telur dengan jarak atau waktu yang sesuai (satu hari satu telur). Ukuran ovum yang matang lebih besar. Menuut Suprijatna dkk. (2005) menyatakn bahwa masaknya ovum pada ovarium ditandai dengan ukuran ovumnya lebih besar dibandingkan dengan ovum yang lain. Telur dapat pecah dalam saluran reproduksi karena adanya peradangan pada saluran telur. Menurut Nugroho dkk. (2002) menyatakan bahwa pecahnya telur dalam saluran reproduksi dapat disebabkan karena adanya infeksi indung dan saluran telur yang terjadi peradangan peritonium.

4.2.5.   Sistem urinari
              Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sistem urinari pada ayam, itik, puyuh dan merpati sebagai berikut :
 ng berfungsi untuk menyaring zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh. Sistem urinari pada unggas terdiri dari ginjal yang berwarna coklat kemerahan dan ureter yang terhubung dengan kloaka. Menurut Moreng dan Avens (1985) menyatakan bahwa sistem urinari dari unggas terdiri dari sepasang ginjal yang terdiri dari tiga lobus dan tiap ginjal terhubung dengan ureter yang berfungsi untuk menyalurkan sisa metabolisme menuju ke kloaka. Sisa metabolisme dari sistem urinari yang berupa urin akan bercampur dengan feses dari usus besar dan membentuk ekskreta yang kemudian akan dikeluarkan dari kloaka. Menurut Winter dan Funk (1960) menyatakan bahwa urin yang dibawa oleh ureter akan bercampur dengan kotoran dari usus besar lalu akan dibuang bersama-sama melalui kloaka. Berdasarkan hasil pengamatan pada Lampiran 1. dapat diketahui bahwa unggas yang berbeda akan memiliki bobot organ urinari yang berbeda-beda, perbedaan tiap organ tersebut dikarenakan adanya perbedaan bobot badan serta perbedaan jenis unggas yang diamati. Hal ini sesuai dengan pendapat Wijaya (2010) bahwa organ urinari unggas akan memiliki ukuran yang berbeda-beda tergantung jenis unggas tersebut serta ukuran badan yang dimiliki.
Berdasarkan praktikum yang telah diamati dapat disimpulkan bahwa ternak yang diamati dalam keadaan sehat, sistem urinari ternak dapat dikatakan sehat apabila memiliki ukuran yang normal dan tidak ada indikasi perubahan warna maupun ukuran pada sistem urinari. Menurut Aini (2008) menyatakan bahwa sehat tidaknya sistem urinari dari unggas dapat dilihat dari ukuran sistem organnya tersebut. Sistem urinari unggas yang sehat juga dapat diamati dari perbandingan antara asam urat serta feses dalam ekskreta pada ayam tersebut, asam urat merupakan sisa metabolisme yang telah di filtrasi melalui ginjal pada unggas, asam urat yang dikeluarkan bersama dengan ekskreta berwarna putih dan menyatu dengan ekskreta. Menurut Ismail (2014) menyatakn bahwa kadar asam urat dalam ekskreta unggas yang normal adalah dalam rentang 2,40 – 4,11 mg/dL.
4.2.6.   Sistem kekebalan tubuh
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sistem kekebalan tubuh pada ayam, itik, puyuh dan merpati sebagai berikut :

Keterangan :    1. Limpa
                        2. Thymus
                        3. Bursa of fabricious
Sistem kekebalan tubuh terdiri dari thymus, limpa dan bursa of fabricious. Thymus berfungsi sebagai pengahasil sel imun berupa limfosit-T, thymus terletak di dekat leher dari unggas. Menurut Winter dan Funk (1960) menyatakan bahwa thymus merupakan lobus yang berwarna putih sedikit merah muda yang terletak disepanjang leher unggas. Limpa adalah organ imun yang berfungsi sebagai pembentuk sel limfosit-B dan limfosit-T, limpa unggas memiliki bentuk yang bulat dan berada didekat hati serta proventrikulus. Menurut Rosevita (2010) menyatakan bahwa limpa pada unggas memiliki bentuk bulat dan sedikit lonjong, berwarna coklat kemerahan dan terletak diantara preoventrikulus dan hati. Bursa of fabricious merupakan organ imun pada unggas yang terletak didekat kloaka dan berfungsi sebagai penghasil sel limfosit-B, bursa of fabricious ukurannya akan mengecil seiring bertambahnya umur unggas. Menurut Fetriza (2013) menyatakan bahwa bursa of fabricious akan mengecil ketika sering menghasilkan antibodi sehingga bursa of fabricious akan sulit untuk ditemukan pada ayam yang telah dewasa.
              Berdasarkan hasil pengamatan praktikum dapat diketahui bahwa sistem imun ternak dalam keadaan sehat karena memiliki ukuran yang normal dan tidak menunjukkan adanya gejala penyakit. Sistem imun dari unggas sendiri juga dapat terserang oleh beberapa macam penyakit, penyakit yang menyerang sistem imun antara lain adalah penyakit marek. Menurut Aini (2008) menyatakan bahwa penyakit marek adalah penyakit yang disebabkan oleh herpes virus dan mengakibatkan kerusakan pada thymus. Gumboro juga merupakan penyakit yang dapat menyerang bursa of fabricious. Menurut Libriani (2015) menyatakan bahwa gumboro akan merusak bursa of fabricious yang merupakan tempat pendewasaan limfosit-B dan mengakibatkan imunosupresi pada unggas.
4.3.      Formulasi Ransum Ternak Unggas
            Formulasi ransum ternak unggas dapat dilakukan menggunakan beberpa metode yaitu trial and eror, person square, system computer dan program linier. Menurut Rasyaf (2008) menyatakan bahwa metode penuyusunan ransum ada tiga, yaitu metode coba-coba, metode persamaan simulasi dan metode matriks. Penyusunan ransum yang tepat dapat memaksimakan produksi dan menekan beban biaya pakan. Penyusunan ransum harus memperhatikan tentang ketersediaan bahan pakan dan harga bahan pakan. Menurut Rasyaf (1982) menyatakan bahwa ransum yang baik dapat memaksimalkan keuntungan suatu usaha peternakan.
4.3.1.   Cara pencampuran ransum
            Berdasarkan formulasi ransum pada ternak unggas broiler fase grower dapat diketahui bahwa, sebagai berikut:
            Tabel. 2 Formulasi ransum ayam broiler fase grower
No
Bahan Pakan
Komposisi
ProteinKasar (%)
Energi Metabolisme  (kkal/kg)
Harga
(Rp/kg)
1
Jagung
57,5
9,59
2.829
4.800
2
Bungkil Kedelai
15,5
51,35
3.213
7.500
3
Bekatul
13,0
12,88
3.253
2.900
4
CPO
1
0
8.100
14.000
5
Tepung Ikan
6
45,23
2.934
7.800
6
MBM
6
53,34
2.769
8.800
7
Premix
1
0
0
9.000

Total
100
172,39
23.098
54.800
Sumber : Data Primer Praktikum Produksi Ternak Unggas, 2017.
            Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa bahan pakan yang digunakan dalam pencampuran ransum terdiri dari jagung, bungkil kedelai, bekatul, CPO, tepung ikan, MBM dan premix yang masing-masing memiliki komposisi yang berbeda. Bahan pakan sebelum dicampurkan dalam ransum harus diuji terlebih dahulu terutama uji organoleptik yang mencakup bau, warna dan bentuk bahan pakan. Bahan pakan yang baik memiliki bau yang sesuai dengan bahan pakan tersebut, bentuknya utuh akan tetapi tidak menggumpal dan tidak terdapat jamur. Murtidjo (1987) menyatakan bahwa pengujian fisik (bau, bentuk tidak menggumpal dan tidak apek serta tidak terdapat jamur), biologis dan kimia sebaiknya dilakukan pada bahan pakan sebelum pencampuran dalam ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartidisastra (1994) bahwa bahan pakan untuk ransum memiliki bau dan warna yang khas dan kandungan toksinnya rendah.
Bahan pakan ditimbang terlebih dahulu sesuai dengan komposisi perhitungan dengan kebutuhan unggas tersebut. Bahan pakan yang digunakan untuk ransum harus tercampur rata atau homogen. Menurut Wibawa dkk. (2015) menyatakan bahwa pemberian ransum bahan pakan yang akan digunakan harus ditimbang terlebih dahulu kemudian semua bahan pakan tersebut diaduk sampai homogen. Kandungan bahan pakan yang digunakan dalam menyusun ransum juga berbeda-beda. Jenis, umur serta tipe unggas pun memiliki kebutuhan yang berbeda, misalnya kebutuhan protein, energi dan lemak. Kebutuhan energi untuk ayam broiler grower minimal 2.100 kkal/kg sedangkan proteinnya minimal 36%. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2009) SNI 3148.5 : 2009 bahwa kebutuhan protein ayam broiler minimal 36% dan kebutuhan energi metabolisnya minimal 2.100 kkal/kg. Berdasarkan hasil penyusunan ransum yang telah dibuat menunjukan bahwa kadar energinya lebih tinggi daripada literatur sedangkan kandungan proteinnya juga terlalu tinggi, kandungan energi yang terlalu tinggi akan disimpan dalam bentuk lemak sedangkan protein yang berlebih akan terbuang bersama ekskreta dan hal tersebut merugikan dalam segi ekonomi.

4.3.2.   Cara Penyajian Ransum
            Pakan ayam broiler sebaiknya diberikan dalam bentuk ad libitum karena akan mempengaruhi tingkat palatabilitas dari unggas, ayam broiler lebih suka mengkonsumsi pakan yang selalu tersedia. Pemberian pakan yang sering akan meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi, semakin sering ternak diberi pakan maka semakin sering juga ternak akan makan. Rachmawati dkk. (2004) menyatakan bahwa interval waktu pemberian pakan sesering mungkin akan meningkatkan konsumsi ternak karena pakan yang diberikan segar atau baru jadi akan meningkatkan palatabilitas ternak. Ransum yang telah disusun dan di timbang sesuai dengan kebutuhan kemudian dihomogenkan dan siap diberikan pada ternak sebagai campuran lengkap sebagai pakan bagi ternak. Menurut Rasyaf (2006) menyatakan bahwa semua pakan yang mengandung nutrisi yang dibutuhkan ternak dapat diberikan sebagai tepung komplit. Pakan dapat diberikan dalam bentuk pellet karena unggas ayam lebih menyukai bentuk bulat panjang dari pada tepung. Menurut Nuraini dkk. (2008) menyatakan bahwa pemberian pakan dalam bentuk pellet dapat meningkatkan palatabilitas ayam sehingga konsumsinya akan meningkat.
4.4.      Sistem Kandang
Bedasarkan praktikum yang telah dilakukan sistem kandang ayam petelur yang ada di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro menggunakan sistem kandang terbuka, yaitu kandang yang desin kandangnya memungkinkan udara dari lingkugan  keluar masuk secara bebas. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu dkk (2011) yang menyatakan bahwa sistem kandang terbuka yaitu kandang yang kontruksi dindingnya dibuat agar memungkinkan udara kaluar masuk kandang dengan mudah. Penggunaan sistem kandang dengan sistem terbuka ini sebenarnya banyak kerugianya, seperti tingkat stres yang tinggi karena suhu dan kelembapan yang tinggi di lingkungan tempat kandang didirikan dan juga penularan penyakit lebih mudah karena udara yang keluar masuk kandang tidak sepenuhnya bersih sehingga bisa membawa penyakit yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Menurut Tamalluddin (2014) menyatakan bahwa penggunaan kandang dengan sistem terbuka lebih banyak kerugianya dibandingkan keuntunganya seperti tingkat penularan penyakit yang tinggi dan tingkat sters yang tinggi.
4.4.1. Layout Kandang
           Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil layout kandang ayam petelur sebagai berikut :
Tampak depan
Tampak samping
Tampak belakang

Ilustrasi 11. Laout Kandang.
Berdasarkan hasil pengamatan telah diperoleh data bahwa kandang ayam petelur di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro menghadap ke arah Selatan – Utara. Kandang ayam yang diamati sudah sesuai dengan standar karena sebelum masuk dalam kandang wajib steril dan dilihat dari segi layout kandangnya sudah sesuai dengan  standar kandang yang modern. Tipe finding yang dipakai semi close house yang akan meminimalisir penyakit yang terbawa oleh angin serta cahaya matahari dapat masuk. Menurut Salale dkk. (2014) menyatakan bahwa sebuah kandang yang baik untuk ternak yaitu kandang yang memiliki arah Timur – Barat. Kandang dengan arah Timur – Barat ditujukan untuk menyeimbangkan jumlah pencahayaan yang diterima ayam yang berada didalam kandang. Kandang yang berada di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro memiliki arah Selatan – Utara karena menyesuaikan dengan kondisi lahan yang ada. Menurut Budiraharjo (2009) menyatakan bahwa pada beberapa kandang peternakan arah kandang tidak begitu diperhitungkan karena menyesuaikan dengan keadaan lahan yang ada. Kandang tersebut berada di area kampus dan dekat dengan pemukiman warga sehingga kurang menyehatkan. Menurut Faradis (2009) menyatakan bahwa jarak aman untuk mendirikan sebuah kandang dengan pemukiman penduduk sekitar satu kali panjang kandang atau sekitar 6 meter. Letak kandang ayam juga harus kondisi angin daerah sekitar karena angin dapat menyebabkan kerusakan pada ayam dan. Menurut Fadilah (2004) menyatakan bahwa kandang yang didirikan di daerah yang berangin kencang dapat menyebabkan kerusakan pada kandang, bahkan pada kondisi yang ekstrim dapat menyebabkan kandang rubuh. Kandang sebaiknya tidak terletak terletak di tempat terbuka ataupun di daerah datar yang luas. Menurut Yani dan Ruhimat (2008) menyatakan bahwa angin di daerah yang datar relatif bertiup lebih kencang karena angin bergerah lancar, di daerah yang berbukit-bukit lebih lambat karena angin banyak bergesek dengan permukaan bumi. Kandang ayam petelur di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro berada dekat dengan sumber air sehingga ketersediaan air akan terjaga.
4.4.2.   Konstruksi kandang
           Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil konstruksi kandang ayam petelur sebagai berikut :
Atap
Dinding
Lantai
Ilustrasi 12. Konstuksi Kandang Ayam Petelur.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa atap kandang ayam petelur terbuat dari bahan asbes. Bahan asbes memiliki karakteristik yaitu mudah membuat suhu ruang kandang menjadi cepat panas karena mampu menyerap radiasi sinar matahari sehingga mempengaruhi suhu di dalam kandang yang dapat menyebabkan ternak menjadi stress dan menyebabkan menurunnya produktifitas ternak tersebut. Menurut Suhaely (2008) menyatakan bahwa atap dari bahan asbes mampu menyerap panas lebih banyak sehingga mengakibatkan suhu di dalam kandang menjadi lebih panas. Kandang ayam petelur yang digunakan dalam praktikum menggunakan model atap monitor. Model atap monitor dapat memudahkan sirkulasi udara menjadi lancar sehingga kandang menjadi lebih sejuk dan juga dapat membantu mengeluarkan ammonia yang berasal dari ekskreta. Kelemahan dari tipe atap monitor adalah membutuhkan biaya yang lebih besar. Menurut Afandi (2012) menyatakan bahwa keuntungan menggunakan atap monitor adalah sirkulasi udara dalam kandang menjadi lebih lancar sehingga meningkatkan kesehatan ternak, kelemahannya yaitu membutuhkan biaya yang besar.
Tipe dinding yang digunakan pada kandang petelur adalah semi close house, yaitu perpaduan antara tipe kandang close house dan open house. Tipe dinding kandang semi close house pada bagian bawah menggunakan tembok batu bata, bagian dinding atas kandang terbuat dari besi yang dianyam membentuk sebuah pagar. Menurut Diqi (2011) menyatakan bahwa dinding kandang semi close house dapat menggunakan kawat sebagai dinding yang berfungsi sebagai ventilasi. Dinding kandang menggunakan tipe semi close house berfungsi untuk memudahkan sirkulasi udara yang ada di dalam kandang sehingga kandang menjadi sejuk dan dapat mengurangi stress panas pada ayam karena suhu yang terlalu panas serta dapat mengurangi bau ammonia yang berasal dari ekskreta ayam yang dihasilkan. Dinding kandang yang dibuat menggunakan batu bata berfungsi agar kandang menjadi lebih kokoh dan menghindari ayam keluar kandang serta menghindari ayam dari predator. Menurut Suhaely (2008) menyatakan bahwa dinding kandang harus terbuat dari bahan yang kokoh dan kuat dan berfungsi sebagai pelindung dari gangguan luar serta sebagai penghalang agar ternak tetap berada di dalam kandang.
Lantai kandang ayam petelur menggunakan tipe slat (lantai renggang). Penggunaan lantai kandang tipe slat sebagai lantai kandang ayam petelur dapat memudahkan sikulasi udara lebih baik sehingga dapat mengurangi bau ammonia pada ekskreta,  dapat mengurangi kontak langsung antara ayam dengan kotoran sehingga penyebaran penyakit yang ada pada kotoran dapat dihindari dan dicegah. Menurut Sari dkk. (2012) menyatakan bahwa tipe kandang slat dapat mengurangi cekaman panas dalam kandang dan dapat mengurangi kelembaban serta polusi ammonia karena sirkulasi udara yang lancar. Kelebihan lain dari lantai tipe slat adalah memudahkan dalam pembersihan kotoran dan produktivitas masing-masing kandang dapat diketahui. Kelemahan dari lantai tipe slat adalah ternak mudah terperosok bahkan terjatuh sehingga dapat mengakibatkan cacat pada ternak. Menurut Suhaely (2008) bahwa lantai tipe slat memiliki kelebihan yaitu kotoran yang jatuh mudah dibersihkan dan kekurangannya adalah memudahkan ternak terperosok karena adanya celah–celah antar lantai kandang sehingga dapat menyebabkan cacat pada ternak.

4.4.3.   Kapasitas dan Daya Dukung Kandang
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kandang yang digunakan pada ayam petelur adalah kandang battery yang memiliki ukuran 30 cm x 40 cm sehingga luas tiap battery adalah 1200 cm2. Kandang baterai sangat efektif digunakan untuk ayam petelur karena memudahkan pengambilan telur, mengetahui ayam yang sakit dan produksi rendah serta menghindarkan ayam dari kontak langsung dengan tanah. Menurut Suprijatna dkk. (2005) menyatakan bahwa kandang battery pada umumnya terbuat dari bilah bambu ataupun kawat memiliiki ukuran 40 cm x 30 cm x 40 cm. Luas kandang ayam petelur adalah 928.800 cm2 dan sesuai pada Lampiran 6. bahwa kandang ayam petelur mampu menampung sebanyak 774 ekor ayam. Kandang yang terlalu padat dapat mempengaruhi produktivitas dari ayam petelur karena adanya kompetisi. Kandang yang terlalu padat menyulitkan dalam mengetahui produksi telur dan sulit untuk mengetahui ayam yang sakit ataupun mati. Kandang yang efisien harus mengetahui ukuran atau kapasitas tubuh ternak. Menurut Gustira dkk. (2015) menyatakan bahwa kompetisi dapat terjadi apabila tingkat kepadatan kandang terlalu tinggi, akan berebut ransum sehingga produktivitas tidak dapat optimal.
Ayam petelur yang dipelihara di kandang battery memiliki ruang gerak yang terbatas sehingga untuk memenuhi kebutuhan pakan dari ayam petelur, peternak harus menyediakan tempat pakan di dekat kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwa (2007) yang menyatakan bahwa tempat pakan dan tempat minum ayam petelur yang dipelihara di kandang battery terletak dibagian depan kandang dengan tujuan untuk memudahkan ayam mengambil pakan dari dalam kandang. Satu kandang battery selalu dilengkapi dengan satu tempat pakan dan tempat minum untuk memenuhi kebutuhan dari ternak sehingga berdasarkan lampiran 5 jumlah tempat pakan dan tempat minum yang dibutuhkan adalah 774 buah untuk tiap tempat pakan dan minum yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dari 774 ekor ayam petelur. Hal ini sesuai dengan pendapat Kholis dan Sitanggang (2003) yang menyatakan bahwa setiap kandang battery membutuhkan tempat pakan dan minum untuk kebutuhan hidup dari ayam petelur sehingga jumlah tempat pakan dan tempat minum yang dibutuhkan sesuai dengan jumlah ayam yang dipelihara.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1       Kesimpulan
           
Berdasarkan Praktikum Produksi Ternak Unggas dapat disimpulkan bahwa kelas unggas terbagi menjadi empat kelas yaitu kelas Asia, Amerika, Inggris dan Mediterania. Perbedaan unggas darat dan unggas air terdapat pada jengger, paruh, leher, jenis pakan, bentuk tubuh, bulu, warna bulu, taji, selaput kaki. Organ pencernaan meliputi paruh, esofagus, crop, proventrikulus, ventrikulus, usus kecil, sekum, usus besar dan kloaka. Organ respirasi meliputi hidung, larynx, trachea, paru-paru, dan kantong udara. Organ reproduksi jantan meliputi testis, epididimis, ductus deferent dan kloaka. Organ reproduksi betina meliputi ovarium, infundibulum, magnum, uterus, vagina dan kloaka. Kandungan protein kasar dan energi metabolisme pada ransum yang telah disusun sudah sesuai dengan standar protein kasar dan energi metabolisme yang seharusnya diberikan pada ayam bloiler periode grower sehingga ransum layak untuk diberikan. Kandang broiler sudah layak karena luas kandang serta kapasitas ayam yang dikandang sesuai dengan standar.

5.2.      Saran
Praktikan seharusnya lebih teliti, cermat dan akurat dalam melakukan formulasi ransum guna mendapatkan ransum yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak dan harga yang diperoleh seminimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, N. 2012. Manajemen Perkandangan Usah Peternakan Ayam Petelur Fase Layer Di Setia Budi Farm Magetan. Program Diploma III Agribisnis Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.(Tugas Akhir).

Afiati, F., Herdis dan S. Said. 2013. Pembibitan Ternak dengan Inseminasi Buatan. Penebar Swadaya, Jakarta.

Aini, U. K. 2008. Kajian Histopatologi Pemberian Kombinasi Herbal (Bawang Putih dan Kunyit) dengan Zink terhadap Organ Ginjal Ayam Broiler yang Terinfeksi Virus Marek. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Annisaa, F. L. N. 2013. Studi Kemampuan Vaksin Aktif ND-IB Pembentuk Kekebalan dan Perlindungan terhadap Paparan Virus IB pada Ayam Pedaging. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Apajalahti, J., A. Kettunen and H. Graham. 2004. Characteristic of the gastrointestinal microbial communities with special reference to the chicken. J. Poultry Sci. 60 (2) : 223 – 232.

Arief, D. A. 2000. Evaluasi Ransum yang Menggunakan Kombinasi Pollard dan Duckweed terhadap Presentase Berat Karkas, Bulu, Organ dalam, Lemak Abdominal, Panjang Usus dan Sekum Ayam Kampung. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Arifah, N., Ismoyowati dan N. Iriyanti. 2013. Tingkat pertumbuhan dan konversi pakan pada berbagai itik lokal jantan (Anas plathyrhinchos) dan itik manila jantan (Cairrina moschata ). J. Ilmiah Peternakan. 1 (2) : 718 – 725.

Arista, D. 2012. Pengaruh Pemberian Tepung Ubi Jalar Merah Ditambah Ragi Tape terhadap Performa dan Organ Pencernaan Ayam Broiler. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Pakan Konsentrat - Bagian 5 : Ayam Ras Pedaging (Broiler concentrate), Jakarta.

Budiraharjo, K., D. Sumarjono, M. Handayani dan S. Gayatri. 2009. Studi Potensi Ekonomi Pengembangan Usaha Ternak Itik di Kabupaten Tegal. dalam: Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Semarang. 572–580.

Darmana, W. dan M. Sitanggang. 2004. Meningkatkan Produktivitas Ayam Arab Petelur. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Darwati, S. 2012. Produktivitas dan Pendugaan Parameter Genetik Burung Merpati Lokal (Columba  livia) sebagai Merpati Balap dan Penghasil Saving. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Disertasi)

Diqi, I. M. J. A. S. 2011. Manajemen Pemeliharaan Ayam Petelur di CV. Sari Makmur Farm Kabupaten Sukoharjo. Program Diploma III Agribisnis Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. (Tugas Akhir)

Djarijah, A. S. 1996. Usaha Ternak Itik. Kanisius, Yogyakarta.

Fadilah, R. dan A. Polana. 2005. Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara Mengatasinya. Agromedia, Tangerang.

Fadilah, R. 2004. Panduan Mengelola Peternakan Ayam Broiler Komersial. Agromedia, Tangerang.

Fadilah, R. dan A. Polana. 2011. 71 Mengatasi Penyakit pada Ayam. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Faradis, H. A. 2009. Evaluasi Kecernaan Nutrien pada Ransum Ayam Broiler di Peternakan CV Perdan Putra Chicken Bogor. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi).

Fetriza, Z. 2013. Studi Histopatologi Pengaruh Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) pada Organ Pertahanan Ayam Broiler. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Flanders, F. R. Dan J. R. Gillespie. 2015. Modern Livestock and Poultry Production. Ninth Edition. Delmar, New York.

Gustira, D. E., Riyanti dan T. Kurtini. 2015. Pengaruh kepadatan kandang terhadap performa ayam petelur fase awal grower. J. Ilmiah Peternakan Terpadu. 3 (1) : 87 – 92.

Hadi, M., M. Misdram dan R. F. Aini. 2016. Perencanaan sistem pakar diagnose penyakit ayam dengan metode forwardchaining. J. Informatika Merdeka Pasuruan. 2 (1): 111 – 139.

Has, H., A. Napirah dan A. Indi. 2014. Efek peningkatan serat kasar dengan penggunaan daun murbei dalam ransum broiler terhadap persentase bobot saluran pencrnaan. J. Ilmu dan Teknologi Peternakan Tropis. 1 (1): 63 – 69.

Hermawan, A. 2000. Pengaruh Bobot dan Indeks Telur terhadap Jenis Kelamin Anak Ayam Kampung pada saat Menetas. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Hidayat., C., S. Iskandar dan T. Sartika. 2011. Respon  Kinerja  Perteluran  Ayam  Kampung  Unggul  Balitnak  (KUB) terhadap  Perlakuan  Protein  Ransum  pada  Masa  Pertumbuhan. JITV. 16 (2): 83 – 89.

Hofstad, M. S. 1984. Diseases of Poultry. Iowa State University Press, Ames, Lowa.

Ihsan, F. N. 2006. Persentase Bobot Karkas, Lemak Abdomen dan Organ dalam Ayam Broiler dengan Pemberian Silase Ransum Komersial. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Ismail, F. 2014. Status Hematologis dan Biokimia Darah Ayam Ras Petelur yang Dipelihara pada Sistem Pemeliharaan Intensif dan Free-Range pada Musim Kemarau. Fakultas Peternakan, Universitas Hasannudin, Makasar. (Skripsi).

Iswanto, H. 2005. Ayam Kampung Pedaging. Agromedia, Yogyakarta.

Kadri, M. H. M., D. Septinova dan Riyanti. 2016. Karakteristik dan perilaku merpati tinggi lokal jantan dan betina. J. Ilmu Peternakan Terpadu. 4 (2): 156 – 160.

Kartadisastra, H. R. 1994. Pengolahan Pakan Ayam Kiat Meningkatkan Keuntungan dalam Agribisnis Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

Kholis, S. dan M. Sitanggang. 2003. Ayam Arab dan Poncin Petelur Unggul. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Kusumawati. E., M. D. Rudyanto, dan I. K. Suada., 2012. Pengasinan mempengaruhi kualitas telur Itik Mojosari. J. Indonesia Medicus Veterinus. 1 (5): 645 – 646.

Lambey L. J., R. R. Noor, M. Wasmen dan D. Duryadi. 2013. Karakteristik morfologi perbedaan jenis kelamin dan pendugaan umur burung weris (Gallirallus philippensis) di Minahasa Sulawesi Utara. J. Veteriner. 14 (2): 228 – 238.

Libriani, R. 2015. Studi Reseptor Virus Infectious Bursal Disease (IBD) pada Organ Limfoid Ayam Pasca Vaksinasi dengan Metode Imunohistokimia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tesis)

Listiyowati, E. dan K. Roospitasari. 2009. Beternak Puyuh Secara Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Marconah. 2012. Beternak Ayam Petelur. Balai Pustaka, Jakarta.

Mardiah, A. 2015. Kajian perbandingan histologi usus halus dan usus kasar antara ayam hutan (Gallaus gallus) dan ayam ras (White leghorn). J. Biologi. 4 (1) : 4 - 10
Martawijaya, E. I., E. Martanto, dan N. Tinaprilla. 2005. Panduan Beternak Itik Petelur secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Masyud, B. 2007. Pola reproduksi burung terkuku dan puren dipenangkaran. Media Peternakan. 7 (2): 80 – 88.

Moreng, R. E. and J. S. Avens. 1985. Poultry Science and Production. Reston Publishing Company, Inc., Virginia.

Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisuis, Yogyakarta.

Nugroho, W. S., M. H. Wibowo, dan W. Asmara. 2002. Patogenitas isolated E. Colli positif Congo red pada telur ayam berembrio umur 12 hari. J. Saints. Veteriner 10 (1): 25 – 29.

Nuraini., Sabrina, dan  S. A. Latif. 2008. Performa ayam dan kualitas telur yang menggunakan ransum mengandung onggok fermentasi dengan Neurosporacrassa. J. Media Peternakan. 31 (3):195 – 202.

Pratiwi, S. I. 2009. Aktivitas Antibakteri Tepung Daun Jarak (Jatropha curcas L.) pada berbagai Bakteri Saluran Pencernaan Ayam Broiler secara in vitro. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Purnamaningsih, A. 2010. Pengaruh Penambahan Tepung Keong Mas (Pomacea Canaliculata Lamarck) dalam Ransum terhadap Kualitas Telur Itik. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. (Skripsi)

Purwa, D. R. 2007. Beternak Ayam Kampung Petelur. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Puspitasari, S. 2016. Pengaruh Penggunaan Tepung Limbah Kecambah Kacang Hijau terhadap Bobot Relatif dan Panjang Organ Pencernaan Itik Magelang Jantan. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi)

Rachmawati, R., A. Lee, T. B. Murdiati dan I. Kennedy. 2004. Pengembangan enzyme linked immunosorbent assay (Elisa) teknik untuk analisis aflatoksin BI pada pakan ternak. dalam: Seminar Parasitologi dan Teknologi Veteriner, Bogor.

Rahayu. I., T. Sudaryani, dan H. Santosa. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rasyaf, M. I982. Beternak Itik. Kanisius, Yogyakarta.

Rasyaf.  2006.  Beternak Ayam Pedaging.  Penebar Swadaya, Jakarta.

Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rhaesa, A. S. 2007. The Evolution of Organ Systems. Oxford University Press, Oxford.

Rosevita, I. V. 2010. Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius dan Limpa Ayam Broiler yang Diuji Tantang Virus Avian Influenza H5N1 Setelah Pemberian Ekstrak Sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Salale, C. C. L., B. Roimpandey, M. T. Massie, dan P. O. V. Waleleng. 2014. Analisis penggunaan faktor produksi  pada perusahaan ayam ras petelur  (studi kasus pada UD. Kakaskasen Indah dan CV. Nawanua Farm). J. Zootek. 1 (34):1 – 14.

Sari, O., B. Priyono, dan N. R. Utami. Suhu, kelembaban, serta produksi telur itik kandang tipe litter dan slat. J. Peternakan. 1 (2): 94 – 100.

Siregar, C. J. 2009. Gambaran Respon Kebal terhadap Infectious Bursal Disease (IBD) pada Ayam Pedaging yang Divaksin IBD Killed Setengah Dosis dan Ditantang dengan Virus IBD. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Siwi, N., T. H. Wahyuni, dan Hamdan. 2014. Identifikasi morfologi dan morfometri organ pencernaan serta sifat kualitatif warna bulu belibis kembang (Dendrocygna arcuata) dan belibis batu (Dendrocygyna javanica). J. Peternakan Integratif 2 (2): 193 – 208.

Suaely, A. 2008. Perancangan Fasilitas Fisik Usaha Ternak Puyuh Skala Komersial Di Kecamatan Ranca Bungur Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Subekti, S. 2007. Respon  Kinerja  Perteluran  Ayam  Kampung  Unggul  Balitnak  (KUB) terhadap  Perlakuan  Protein  Ransum  pada  Masa  Pertumbuhan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Disertasi).

Suci, D. M. 2013. Pakan Itik. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sudarmono, A. S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Kanisius, Yogyakarta.

Suharno, B. dan K. Amri. 2010. Panduan Beternak Itik Secara Intensif. Penebar Swadaya, Depok.

Sujionohadi, K. dan Setiawan, A. I. 2010. Ayam Kampung Petelur. Penebar Swadaya, Jakarta
Sumiarti dan Sumirat. 2003. Presentase bobot saluran pencernaan dan organ dalam itik local (Anas platyrhyncos) jantan yang diberi berbagai taraf kayambang (Salvinia molesta) dalam ransumnya. Media Peternakan. 26 (1) : 11 – 16.

Suparman. 2007. Cara Beternak Merpati. JP Books, Surabaya.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susanti, T. dan L. H. Prasetyo. 2008. Pendugaan parameter genetik sifat-sifat produksi telur Itik Alabio. dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 588 – 592.

Susilorini, T. E., E. S. Manik, dan Muharlien. 2009. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tangendjaja, B. 2007. Inovasi teknologi pakan menuju kemandirian usaha ternak unggas. J. Wartazoa. 17 (1): 12 – 20.
Tamalluddin, F. 2014. Panduan Lengkap Ayam Broiler. Penebar Swadaya, Jakarta.

Tarmudji. 2007. Penyakit pernapasan pada ayam ditinjau dari aspek klinik dan patologik serta kejadiaanya di indonesia. Wartazoa. 15 (2): 72 – 83.

Utami, D. P. 2010. Pengaruh Penambahan Ekstrak Buah Nanas (Ananas Comosus L. Merr) dan Waktu Pemasakan yang Berbeda terhadap Kualitas Daging Itik Afkir. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. (Skripsi)

Vali, N. 2011. Molecular study for the sex identification in Japanese quail. J. African of Biotechnology. 10 (80): 18593 – 18596.

Wibawa, I. M. A. S., G. A. M. K. Dewi, dan I. W. Wijana. 2015. Respon pertumbuhan Itik Bali jantan umur dua sampai delapan minggu yang diberi ransum mengandung biosuplemen. J. Peternakan Tropika. 3 (2): 324 – 337.

Wijaya, G. H. 2010. Persentase Karkas, Lemak Abdominal, dan  Organ Dalam  Ayam Broiler yang Diberi  Ransum dengan Penambahan Cassabio. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Winter, A. R. and E. M. Funk. 1960. Poultry Science and Practice. J. B. Lippincott Company, USA.

Wuryadi, Slamet. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Puyuh. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Yani, A. dan Ruhimat, R. 2008. Geografi Menyingkap Fenomena Geosfer.  PT Grafindo Media Pratama, Bandung

Yunanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Kanisius, Yogyakarta.

Zainuddin, D. 2005. Strategi pemanfaatan pakan sumberdaya lokal dan perbaikan manajemen ayam lokal. Prosiding Lokakarya Nasional, Bogor.

Zebua, F. E. 2016. Perbedanaan Karakteristik Tubuh Merpati Tinggi Jantan dan Perbedaan Karakteristik Tubuh Merpati Tinggi Jantan dan Merpari Balap Jantan Lokal. Universitas Lampung, Bandar Lampung. (Skripsi)

Zulfahmi, M., Y. B. Pramono, dan A. Hintono. 2013. Pengaruh marinasi ekstrak kulit nenas (Ananas comocus l. Merr) pada daging itik tegal betina afkir terhadap kualitas keempukan dan organoleptik. J. Pangan dan Gizi. 4 (8) : 19 – 26.



0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP