Loading...
Senin, 02 Oktober 2017

LAPORAN PRAKTIKUM PRODUKSI TERNAK PERAH


BAB I
PENDAHULUAN
Ternak sapi perah PFH merupakan hewan yang dimanfaatkan manusia untuk diambil produk susunya dan memiliki kandungan kalsium yang baik bagi pertumbuhan anak. Faktor yang berpengaruh pada produktivitas sapi perah yaitu faktor genetik, masa laktasi, suhu lingkungan kandang, kelembaban lingkungan dan kondisi ambing. Konsumsi air minum sangat mempengaruhi kondisi fisiologi ternak dan perkandangan yang nyaman akan mempengaruhi kenyaman ternak. Kualitas susu dilihat dari kandungan berat jenis yang terdapat pada komponen susu. Recording sapi diperlukan untuk pemilihan ternak sapi perah yang memiliki produksi susu tinggi, pencatatan identitas ternak dan keadaan alat reproduksi.
Tujuan dari pelaksanaan praktikum produksi ternak perah yaitu untuk mengetahui pengaruh fisiologi lingkungan terhadap keadaan fisiologi ternak, mengetahui dan mempelajari anatomi biologis ambing sapi perah, proses biosintesis atau pembentukan susu, kualitas susu dengan pengujian berat jenis susu, mengetahui perkandangan yang sesuai bagi ternak perah dan mengetahui recording ternak. Manfaat dari praktikum produksi ternak perah yaitu mengantisipasi kondisi lingkungan kandang terhadap kondisi fisiologis ternak, membersihkan kandang agar ternak merasa nyaman dan melakukan penanganan susu yang dilihat dari kualitas susu serta memperbaiki recording ternak.


BAB II
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi Anatomi Biologis Ambing, Biosintesis susu dan Milk Let Down dilaksanakan hari Sabtu, tanggal 22 Maret 2016 pukul 14.30 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Divisi Ilmu Ternak Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro Semarang. Praktikum dengan materi Fisiologi lingkungan, Fisiologi ternak, Recording sapi perah dan Pengukuran Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari Minggu – Selasa, tanggal 23 – 25 Maret 2017 di kandang sapi perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

      
2.1.      Materi

            Materi yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah yaitu Praktikum anatomi biologis ambing menggunakan awetan ambing sapi perah, praktikum biosintesis susu dan milk let down menggunakan poster. Praktikum pengukuran berat jenis susu menggunakan 500 ml susu yang diambil dari produksi pagi dan sore hari. Praktikum pada saat dikandang dengan menggunakan sapi perah PFH untuk pengukuran fisiologi lingkungan, fisiologis ternak dan recording sapi. Alat yang digunakan pada praktikum meliputi thermohygrometer sebagai alat untuk mengukur suhu dan kelembaban dalam dan luar kandang dan black globe temperature untuk mengukur radiasi matahari di luar kandang, meteran yang digunakan untuk pengukuran kandang, stetoskop digunakan untuk perhitungan frekuensi denyut nadi ternak, thermometer klinis untuk mengukur suhu tubuh pada sapi, stopwatch untuk menghitung waktu, sekop untuk membersihkan kotoran ternak dan sikat untuk membersihkan ternak, lactodensimeter untuk perhitungan berat jenis susu, gelas ukur digunakan untuk tempat pengukuran volume susu dan ember digunakan untuk tempat air minum sapi.

2.2.      Metode

2.2.1.   Fisiologi lingkungan

Praktikum pengamatan fisiologi lingkungan yang dilakukan meliputi suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari dan perkandangan. Pengamatan suhu, kelembaban dan radiasi matahari dilakukan selama 48 jam dan setiap 2 jam sekali yaitu pada pukul 18.00, 20.00, 22.00, 00.00, 02.00, 04.00, 06.00, 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00 kemudian di catat hasilnya pada diktat.

2.2.1.1.  Suhu lingkungan, pengamatan dilakukan dengan meletakkan dua alat thermohygrometer di dalam dan di luar kandang untuk mengukur suhu dalam dengan digantung di dalam kandang tanpa terkena sinar matahari secara langsung, sedangkan untuk pengukuran suhu luar dengan digantung di pohon luar kandang dengan secara langsung terkena sinar matahari. Suhu lingkungan dapat diketahui dengan skala angka pada alat thermohygrometer dibaca dan di catat hasilnya pada diktat.

2.2.1.2.     Kelembaban, pengamatan dilakukan dengan cara alat thermohygrometer diletakkan di dalam dan di luar kandang untuk mengukur kelembaban dalam dengan digantung di dalam kandang tanpa terkena sinar matahari secara langsung, sedangkan untuk pengukuran kelembaban di luar kandang digantung di pohon dengan secara langsung terkena sinar matahari. Kelembaban lingkungan dapat diketahui dengan skala angka pada alat thermohygrometer dibaca dan di catat hasilnya pada diktat.

2.2.1.3.  Radiasi matahari, pengamatan dilakukan dengan alat black globe temperature diletakkan di luar kandang yang terkena sinar matahari secara langsung untuk mngetahui suhu pada alat tersebut, kemudian suhu pada alat black globe temperature dibaca pada skala yang tertera pada garis merah dan di catat hasilnya pada diktat. Perhitungan radiasi matahari dilakukan dengan menggunakan rumus :
R = s x T4
Keterangan :    R = Radiasi Matahari (Kkal/m2/jam)
                        s = Konstanta Stefan Boltzmann (4,903 ´ 10-8)
                        T = Suhu mutlak dalam derajat Kelvin (273 + 0C)

2.2.1.4.     Perkandangan sapi perah, metode yang digunakan dalam pengukuran perkandangan yaitu dilakukan dengan cara kandang diukur menggunakan meteran, meliputi panjang kandang, lebar kandang, tinggi kandang, panjang palung, lebar palung, kedalaman palung, tinggi palung, panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan, panjang stall, lebar stall, tinggi stall dan luas kamar susu serta diamati tipe perkandangannya dan di catat pada diktat

2.2.2.     Fisiologi ternak
Parameter yang diamati dalam pengukuran fisiologi ternak meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi nafas, konsumsi air minum, frekuensi urinasi dan frekuensi defekasi. Pengukuran dilakukan selama 48 jam dan setiap 2 jam sekali yaitu pada pukul 18.00, 20.00, 22.00, 00.00, 02.00, 04.00, 06.00, 08.00, 10.00, 12.00, 14,00, 16.00, 18.00 kemudian di catat hasilnya pada diktat.

2.2.2.1. Suhu tubuh, pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan cara pengukuran suhu rektal, thermometer klinis dimasukkan ke dalam bagian rektum ternak, ditunggu hingga berbunyi kemudian ditarik keluar, diamati dan dicatat angka yang menunjukkan suhu tubuh ternak. Pengukuran suhu tubuh dilakukan setiap 2 jam sekali selama 48 jam kemudian hasilnya dicatat pada diktat.

2.2.2.2. Denyut nadi, denyut nadi diukurmenggunakan stetoskop dengan cara stetoskop diletakkan pada kaki depan sebelah kiri bagian ketiak ekor ternak dan dirasakan denyut nadi selama satu menit.

2.2.2.3. Frekuensi nafas, pengukuran frekuensi nafas dilakukan dengan cara diamati gerakan tulang rusuk ternakdari kejauhan dan dengan menggunakan pengukuran lewat hidung selama satu menit.

2.2.2.4. Konsumsi air minum, pengukuran konsumsi air minum dengan cara air diisi ke dalam ember sebanyak 10 liter. Kemudian diberikan kepada ternak dan ditunggu selama 30 menit, misal ternak tidak meminumnya maka diambil minumannya dan diberikan lagi setiap satu jam sekali selama 48 jam. Banyaknya konsumsi air yang diminum oleh ternak di catat pada diktat.

2.2.2.5. Frekuensi urinasi, pengamatan dilakukan dengan mengamati ternak saat urinasi dengan cara menghitung frekuensi urinasi pada sapi selama 48 jam dan kemudian di catat pada diktat.

2.2.2.6. Frekuensi defeksi, pengukuran frekuensi defekasi ternak dilakukan dengan cara mengamati waktu ternak mengeluarkan feses selama 48 jam dan kemudian dicatat pada diktat
2.2.3.   Perkembangan ambing
Metode yang digunakan pada materi perkembangan ambing yaitu dengan berdiskusi mengenai fase-fase perkembangan ambing yang dijelaskan oleh perwakilan salah satu praktikan dan praktikan yang lain menanggapi dengan bertanya atau menambahkan apa yang telah disampaikan oleh perwakilan tersebut. Asisten menambahkan penjelasan mengenai fase-fase perkembangan ambing. Hasil dari diskusi dicatat pada diktat.
2.2.4.     Anatomi biologis ambing

Metode yang digunakan dalam anatomi biologis ambing yaitu dilakukan dengan cara mengamati preparat awetan ambing,  mengetahui letak serta fungsi organ eksternal dan mengetahui letak dan fungsi internal ambing dengan menggunakan poster, menulis dan mendiskusikan hasil pengamatan tentang fase-fase perkembangan ambing.

2.2.5.   Biosintesis susu
Metode yang digunakan pada materi biosintesis susu yaitu dengan cara berdiskusi menjelaskan biosintesis susu oleh perwakilan praktikan di depan para praktikan lainnya dengan menggambarkan skema biosintesis susu pada papan tulis, kemudian di jelaskan mengenai skema biosintesis susu. Praktikan yang lainnya menanggapi dengan bertanya atau menambahkan penjelasan dari skema tersebut. Asisten menambahkan penjelasan mengenai biosintesis susu. Hasil dari diskusi dicatat pada diktat.

2.2.6.   Milk let down
            Metode yang digunakan pada materi milk let down dengan menggambarkan dan mendiskusikan bagian proses pengeluaran air susu akibat rangsangan positif dan rangsangan negatif, kemudian hasil dari pengamatan dipresentasikan didepan teman - teman dan asisten serta di catat pada diktat.

2.2.7.   Kualitas susu


            Metode yang digunakan dalam  pengukuran berat jenis adalah dengan cara susu segar sebanyak 500 ml dituangkan pada gelas ukur, kemudian laktodensimeter dimasukkan ke dalam gelas ukur dengan dipegang pada bagian ujungnya lalu diputar, ditunggu hingga laktodensimeter berhenti berputar. Laktodensimeter kemudian dibaca skala suhu dan berat jenis susu, selanjutnya berat jenis susu dihitung dengan menggunakan rumus :
Berat Jenis Susu  = Skala Terukur – (27,5 – T) x 0.0002
Keterangan :
T = suhu susu (oC)

2.2.8.   Recording      
            Metode yang dilakukan dalam recording yaitu dengan melakukan wawancara kepada ketua KSTP (Kelompok Studi Ternak Perah) tentang recording sapi perah yang digunakan dalam praktikum. Recording ternak meliputi identitas ternak, produksi ternak, penyakit dan kesehatan ternak, reproduksi, kebuntingan dan partus.




BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.      Fisiologi Lingkungan


            Fisiologi lingkungan merupakan kondisi lingkungan tempat ternak tinggal dan dapat berpengaruh secara langsung terhadap kehidupan ternak. Fisiologi lingkungan terdiri dari suhu luar dan suhu dalam kandang, kelembaban udara kandang,  radiasi matahari dan sistem perkandangan. Fisiologi lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kondisi kandang dan tingkatkenyamananpada ternak sapi perah sehingga dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani (2007) yang menyatakan bahwa kondisi kandang dengan melihat kenyaman ternak sapi perah dapat ditunjukkan dengan fisiologi lingkungan ternak yang meliputi suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari. Kondisi suhu udara, kelembaban dan radiasi matahari merupakan variabel fisiologis lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa fisiologi pada lingkungan dengan tingginya suhu, kelembaban dan radiasi matahari sangat mempengaruhi terhadap tingkat produksi ternak sapi perah PFH. Suhu, kelembaban dan radiasi matahari merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo dkk. (2009) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak yaitu suhu, kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi matahari.
3.1.1.   Suhu lingkungan

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh grafik sebagai berikut :
Ilustrasi 1. Grafik Suhu Lingkungan Dalam dan Luar Kandang
Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui bahwa rata-rata suhu dalam dan luar kandang masing-masing yaitu 29 oC dan 29,24 oC. Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu udara berada dalam kondisi yang tidak nyaman karena diatas termonetral zone atau diatas zona nyaman ternak sehingga dapat meningkatkan produksi panas tubuh. Menurut Nugroho dkk. (2010) bahwa kisaran suhu udara yang nyaman untuk pemeliharaan ternak sapi perah berkisar antara 18 – 25 oC. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan cekaman panas terhadap ternak sehingga berakibat pada terjadinya penurunan produktivitas ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo dkk. (2009) yang menyatakan bahwa suhu lingkungan sangat mempengaruhi konsumsi pakan, produksi, komposisi susu dan produksi panas tubuh.

3.1.2.   Kelembaban

            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh grafik sebagai berikut :
Ilustrasi 2. Grafik Kelembaban Dalam dan Luar Kandang
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa nilai kelembaban dalam dan luar kandang berada diatas nilai normal yaitu sebesar 83,37% dan 81,71%. Lingkungan dengan nilai kelembaban tinggi akan mengakibatkan penurunan produktivitas ternak sapi perah karena ternak akan merasakan cekaman panas dalam tubuhnya. Menurut Sudrajad dan Adiarto (2011) bahwa kisaran nilai normal kelembaban lingkungan ternak sapi perah adalah 60 – 80%. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelembaban udara di lingkungan kandang  meliputi faktor dari suhu udara, radiasi matahari dan angin. Hal ini didukung oleh pendapat dari Gwatibaya dkk. (2007) yang menyatakan bahwa faktor penyebab timbulnya stres panas pada ternak diakibatkan beberapa faktor antara lain kelembaban udara yang tinggi. Faktor ini  sangat berpengaruh terhadap penurunantingkat produktivitas pada ternak sapi perah.
3.1.3.   Radiasi matahari
            Berdasarkan paktikum yang telah dilaksanakan diperoleh grafik sebagai berikut :
Ilustrasi 3. Grafik Radiasi Matahari
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa rata-rata nilai radiasi matahari diluar kandang yaitu sebesar 401,975 Kkal/m2/jam. Nilai rata-rata radiasi matahari di wilayah Indonesia bagian barat sebesar 450 Kkal/m2/jam. Nilai ini sangat berbeda dengan hasil yang diperoleh dari praktikum yang telah dilakukan. Perbedaan angka yang diperoleh sangat mempengaruhi tingkat kenaikan suhu dan kelembaban lingkungan, selain itu tinggi rendahnya radiasi matahari dapat dipengaruhi juga oleh jarak antara matahari dan bumi, panjang hari dan intensitas dari radiasi matahari. Tingkat radiasi matahari yang tinggi dapat menyebabkan ternak merasa kepanasan dan tidak nyaman bahkan mengalami stres panas sehingga sebagai upaya mencegah stres panas, ternak akan mencari tempat untuk berlindung dan berteduh untuk melepaskan panas tubuhnya melalui frekuensi nafas dan keringat yang dihasilkan dari dalam tubuh ternak. Menurut pendapat Yani dan Purwanto (2006) bahwa rata-rata nilai radiasi matahari di Indonesia bagian barat sebesar 450 Kkal/m2/jam, nilai radiasi tersebut dapat meningkat hingga 480 Kkal/m2/jampada siang hari. Akoso (2008) menyatakan bahwa proses pertambahan panas tubuh terjadi secara sensible yaitu dengan melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Mekanisme jalur untuk pelepasan panas dengan evaporative heat loss dilakukan dengan cara pengeluaran panas tubuh melalui permukaan kulit (sweating).
3.1.4.   Perkandangan
            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa peternakan sapi perah Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro memiliki hasil sebagai berikut :


            Tabel. 1. Hasil Pengukuran Kandang
Parameter
Ukuran
Panjang kandang (m)
12,70
Lebar kandang (m)
8,28
Tinggi atap (m)
4,12
Panjang palung (m)
9,20
Lebar palung (cm)
54
Kedalaman palung (cm)
51
Tinggi palung (cm)
63
Panjang selokan (m)
9,5
Lebar selokan (cm)
25
Kedalaman selokan (cm)
6
Panjang stall (cm)
160
Lebar stall (cm)
260
Tinggi stall (cm)
130
Luas kamar susu (m2)
53,12

           
            Kandang tersebut memiliki arah bangunan dari selatan ke utara. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh ternak yang dapat menyebabkan ternak yang menerima intensitas cahaya lebih tinggi akan mengalami cekaman panas. Kandang ternak sapi perah yang baik adalah kandang yang memiliki arah dari timur ke barat karena cahaya matahari terbit dari arah timur menuju barat sehingga diharapkan intensitas cahaya yang diterima oleh ternak adalah sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Salale dkk. (2014) yang menyatakan bahwa kandang yang baik harusnya memiliki  arah dari timur menuju barat sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh sapi sama. Kandang sapi perah memiliki sistem setengah terbuka yang bertujuan untuk memperlancar sirkulasi udara pada kandang sehingga suhu udara dalam kandang tidak terlalu tinggi sehingga ternak merasa nyaman.Triyanton (2009)menyatakan bahwa kandang yang dibuat dengan sistem setengah terbuka memiliki tujuan untuk memperlancar sirkulasi udara.
Ilustrasi 4. Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan)
            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa pada kandang sapi perah terdapat tempat minum secara otomatis sehingga peternak tidak perlu repot dalam menyediakan kebutuhan air minum untuk ternak sapi. Sudrajat dan Ardianto (2013) berpendapat bahwa sapi perah memerlukan air minum yang banyak untuk proses produksi susu sehingga penyediaan tempat minum otomatis akan memenuhi kebutuhan air minum sapi. Terdapat lampu yang berfungsi sebagai penerangan pada malam hari. Kandang sapi perah menggunakan sistem penempatan ternak yaitu secaratail to tail sehingga memudahkan anak kandang dalam melakukan sanitasi serta dapat mencegah penularan penyakit antar ternak yang dapat ditularkan melalui pernafasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Yulianto dan Saparinto (2014) yang menyatakan bahwa kandang dengan tipe tail to tail berguna untuk memudahkan dalam sanitasi serta menjaga ternak dari penularan penyakit melalui pernafasan antar ternak sehingga kesehatan ternak dapat terjaga.
Ilustrasi 5. Palung Kandang

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa palung kandang merupakan tempat atau wadah berbentuk melengkung untuk memberi pakan ternak. Hasil praktikum menunjukkan bahwa panjang palung kandang sapi perah adalah 9,20 m, lebar palung 54 cm, kedalaman palung 51 cm dan tinggi palung 63 cm. Bentuk palung dapat mempengaruhi palatabilitas dan konsumsi pakan pada sapi. Arifin (2015) menyatakan bahwa palung yang terlalu kecil akan menyulitkan ternak ketika mengambil pakannya sehingga akan berpengaruh terhadap konsumsi pakan ternak yang menurun. Palung kandang sapi perah berbentuk melengkung yang bertujuan agar pakan tidak tersangkut pada sudut-sudut palung, pakan tidak tercecer keluar dari palungketika sapi sedang makan serta akan memudahkan dalampembersihan palung saat sanitasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Syukur dan Suharno (2014) yang menyatakan bahwa palung dibuat melengkung pada sudut-sudutnya agar memudahkan dalam pembersihan palung.
Ilustrasi 6. Atap Kandang

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa atap kandang sapi perah menggunakan bahan atap berupa asbes. Pemilihan bahan atap harusnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan kandang agar ternak dapat merasa nyaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Syukur dan Suharno (2014) yang menyatakan bahwa atap kandang harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan kandang dan modal yang dimiliki untuk menjaga tingkat kenyamanan hidup ternak. Tinggi atap juga perlu diperhatikan agar sirkulasi udara dalam kandang lancar sehingga suhu dalam kandang tidak terlalu tinggi yang dapat berpengaruh pada tingkat kenyamanan sapi dan juga untuk menghindarkan kepala pekerja kandang mengenai atap kandang. Pembuatan atap kandang juga harus memperhitungkan tingkat kemiringan atap  agar ketika hujan air dapat mengalir dengan lancar dan tidak membasahi ternak. MenurutArifin (2015) menyatakan bahwa dalam pembuatan atap sudut kemiringannya sekitar 30oC dengan bagian bawah menuju ke belakang agar air dapat mengalir dengan lancar.
Ilustrasi 7. Lantai Kandang

            Lantai kandang pada kandang sapi perah terbuat dari semen. Lantai kandang seharusnya dibuat tidak terlalu licin agar sapi tidak tergelincir dan tidak terlalu kasar. Lantai kandang yang terlalu kasar dapat menyebakan luka atau lecet pada kulit ternak segingga akan mudah dimasuki oleh bakteri atau mikroorganisme lainnya yang dapat menyebabkan infeksi. Hal ini sesuai dengan Yulianto dan Saparinto (2014) yang menyatakan bahwa lantai kandang yang licin akan membuat ternak tidak dapat berdiri tegak dan dapat tergelincir sedangkan lantai kandang yang kasar akan membuat kulit ternak menjadi terluka atau lecet. Lantai kandang pada sapi perah dilengkapi dengan selokan yang ditujukan untuk mempermudah dalam sanitasi. Kemiringan lantai perlu diperhitungkan agar ketika sapi urinasi maka urinnya dapat langsung mengalir menuju selokan sehingga lantai kandang tidak akan mudah becek dan lembab yang dapat memicu tumbuhnya mikroorganisme penyebab penyakit. Menurut Arifin (2015)kemiringan lantai kandang sekitar 2-3 cm untuk menjaga air dapat mengalir dengan lancar.
Ilustrasi 8. Stall Kandang

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa stall kandang merupakan sekat yang digunakan untuk membatasi ternak satu dengan yang lainnya serta untuk membatasi ruang gerak ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yulianto dan Saparinto (2014) yang menyatakan bahwa stall pada kandang dibutuhkan untuk membatasi antar ternak. Sekat atau stall kandang sapi perah terbuat dari besi yang kuat agar tidak mudah roboh ketika terkena tubuh sapi saat bergerak. Kandang sapi perah memiliki jarak antar stall yang sudah cukup sehingga ternak tidak merasa sesak atau sempit dan masih dapat bergerak dengan leluasa. Hasil praktikum didapatkan bahwa ukuran panjang stallkandang 260 cm, lebar stall 160 cm dan tinggi stall 130 cm. Menurut Putra (2009) yang menyatakan bahwa ukuran stallkandang minimal dibuat dengan panjang 150 cm, lebar 100 cm dan tinggi 125-150 cm agar ternak merasa nyaman dan masih bisa bergerak dengan bebas.
Ilustrasi 9. Dinding Kandang

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dinding kandang sapi perah terbuat dari dinding tembok. Dinding yang terbuat dari semen (tembok) dapat membuat konstruksi kandang semakin kokoh. Pemilihan bahan pembuatan dinding tembok seharusnya disesuaikan dengan banyaknya modal yang dimiliki sehingga modal tersebut dapat mencukupi semua kebutuhan.  Pemberian dinding pada kandang sapi bertujuan untuk menghalau tiupan angin sehingga tidak langsung mengenai tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan Yulianto dan Saparinto (2012) yang menyatakan bahwa pada daerah yang sering terjadi tiupan angin maka dalam pembuatan kandang perlu adanya dinding pembatas untuk menghalau tiupan angin. Pembuatan dinding kandang dapat menggunakan tipe semi terbuka yaitu dengan tinggi sekitar 1,5 meter untuk memperlancar pertukaran udara dan agar sinar matahari pagi dapat masuk ke dalam kandang. Arifin (2015) Menyatakan bahwa dinding yang dibuat dengan semi terbuka akan memperlancar pertukaran udara dalam kandang dan sinar matahari pagi dapat masuk yang baik untuk tubuh ternak dan akan memperlancar sirkulasi darah.
3.2.      Fisiologi Ternak
            Fisiologi ternak merupakan suatu keadaan pada tubuh ternak yang menunjukkan kerja sistem tubuh ternak yang saling berhubungan dengan kondisi lingkungan pada sekitar kandang yang bertujuan untuk menjaga kondisi tubuh ternak tetap dalam keadaan nyaman. MenurutSurjowardojo dan Ihsan (2010) yang menyatakan bahwa fisiologi ternak menggambarkan kerja sistem metabolisme tubuh pada saat ternak mengalami cekaman panas. Kondisi fisiologi ternak yang dapat diamati dan diukur antara lain frekuensi nafas, suhu tubuh, frekuensi defekasi, frekuensi urinasi, konsumsi air minum dan frekuensi denyut nadi. Keadaan fisiologi ternakdapat digunakan sebagai tolak ukuruntuk mengetahui kesehatan tubuh ternak serta mengetahui tingkat kenyaman ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Palulungan dkk. (2013) yang menyatakan bahwa fisiologi ternak sapi perah dapat dilihat berdasarkan suhu tubuh ternak, frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologi ternak yaitu tinggi rendahnya suhu lingkungan, tingkat kelembaban udara serta aktivitas dan jumlah air yang diminum. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo dkk. (2009) yang menyatakan bahwa kondisi fisiologi lingkungan seperti suhu dan tingkat kelembaban udara dapat mempengaruhi kondisi fisiologi ternak yang selanjutnya berpengaruh terhadap kemampuan ternak dalam berproduksi akibat adanya perubahan keseimbangan panas dan tingkah laku.

3.2.1.   Suhu tubuh
            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui sebagai berikut :
 











Ilustrasi 10. Grafik Suhu Tubuh


Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui bahwa rata-rata suhu tubuh sapi laktasi termasuk normal yaitu 37.96 °C. Suhu rektal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur suhu tubuh karena kisaran suhunya relatif konstan dan mudah cara pengukurannya. Mariana dkk. (2016) menyatakan bahwa nilai rataan suhu rektal sapi perah berkisar pada angka 37.94 °C. Faktor yang mempengaruhi suhu tubuh antara lain suhu lingkungan kandang dan kelembaban udara. Suhu lingkungan yang tinggi menyebabkan tubuh ternak mengalami kenaikan suhu. Hal ini sesuai dengan perndapat Asmayadi dkk. (2016) bahwa suhu tubuh pada ternak akan selalu berubah bergantung pada aktivitas di dalam dan di luar tubuh.

3.2.2.   Denyut nadi
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui sebagai berikut :
 














Ilustrasi 11. Grafik Denyut Nadi


            Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui bahwa rata-rata frekuensi denyut nadi pada sapi laktasi berada pada angka normal yaitu 55 kali/menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa rata-rata nilai standar denyut jantung sapi perah berkisar 50 – 80 kali/menit tergantung daerah pemeliharaan ternak tersebut. Tingginya frekuensi denyut nadi merupakan akibat dari stress panas yang dialami ternak karena tingginya suhu lingkungan. Menurut Ghardien dkk. (2016) menyatakan bahwa tingginya frekuensi nadi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingginya beban panas dari luar maupun dari dalam tubuh ternak.
3.2.3.   Frekuensi nafas
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui sebagai berikut:
 








Ilustrasi 12. Grafik Frekuensi Nafas


Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui bahwa rata-rata frekuensi nafas sapi laktasi berada diatas angka normal yaitu 58 kali/menit. Hal ini sesuai dengan Yani dan Purwanto (2006) menyatakan bahwa normalnya frekuensi nafas sapi perah berkisar antara 31 – 48 kali/menit. Faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas adalah suhu udara yang terlalu tinggi dan menyebabkan ternak mempercepat laju respirasi untuk membuang panas dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghiardien dkk. (2016) bahwa peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika terdapat peningkatan permintaan oksigen dari tubuh dan kondisi lingkungan maupun kelembaban yang relatif tinggi.

3.2.4.   Konsumsi air minum

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
 








Ilustrasi 13. Grafik konsumsi air minum
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa rata – rata konsumsi air minum sapi perah yaitu sebanyak 47,9 liter. Konsumsi air minum tersebut tergolong dalam keadaan baik karena berada pada rentang standar konsumsi minum sapi perah yaitu minimal 30 – 50 liter per hari. Widiyantono (2016) menyatakan bahwa konsumsi air minum per hari sapi perah laktasi yaitu 30 – 50 liter/hari. Banyak sedikitnya air yang dikonsumsi sapi perah dapat dipengaruhi oleh adanya kondisi cekaman panas (stres). Putra (2009) menyatakan bahwa jumlah kebutuhan air minum sapi perah laktasi dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, produksi susu, kadar air pakan dan ukuran tubuh ternak. Hal ini didukung oleh pendapat Sudrajat dan Adiarto (2013) yang menyatakan bahwa ternak ketika mengalami cekaman panas atau stres maka ternak akan berusaha beradaptasi mengurangi konsumsi pakan, meningkatkan frekuensi dan jumlah minum, meningkatkan frekuensi nadi dan nafas serta meningkatkan produksi saliva dan keringat.
3.2.5.   Frekuensi urinasi dan defekasi
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam adalah sebagai berikut:

            Tabel 2. Hasil Pengamatan Urinasi dan Defekasi
Hari Ke
Frekuensi Urinasi
Frekuensi Defekasi
1
8
10
2
10
10
Jumlah
18
20
Rata-rata
9
10

           
Frekuensi urinasi ternak sapi perah selama 24 jam dihasilkan sebanyak 9 kali, banyaknya urin yang dikeluarkan ternak selama 24 jam termasuk normal karena dapat dipengaruhi dari banyaknya konsumsi air yang diminum oleh ternak. Menurut Robichaud dkk. (2011) bahwa selama 24 jam ternak sapi perah mampu berurinasi sebanyak 3 kali sampai 19 kali. Hasil dari praktikum menunjukkan bahwa frekuensi defekasi pada sapi perah yaitu 10 kali selama 24 jam pengamatan dan termasuk dalam keadaan normal. Riyanthi (2006) menyatakan bahwa sapi perah memiliki nilai normal dalam frekuensi defekasi selama 24 jam yaitu sebanyak 3 – 18  kali. Faktor yang dapat mempengaruhi ternak berurinasi dan defekasi yaitu suhu lingkungan yang mengakibatkan konsumsi air minum meningkat, pemberian pakan hijauan dan konsentrat dan pada saat setelah melakukan pemerahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Emberston dkk. (2009) yang menyatakan bahwa  ternak sapi perah dapat berurinasi dan berdefekasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu kandang, kondisi lingkungan, pemberian pakan dan pada saat mengkonsumsi air minum.

3.3.      Perkembangan Ambing

            Perkembangan ambing pada ternak perah dibagi ke dalam lima fase yaitu fase prenatal, fase postnatal, fase pubertas, fase kebuntingan dan fase laktasi. Lestari (2006) menyatakan bahwa terdapat empat fase dalam pembentukan mamae adalah fase perkembangan embrionik, fase perkembangan fetus, fase perkembangan postnatal dan fase perkembangan saat kebuntingan ternak. Fase prenatal atau fase embrional diawali dengan adanya sel – sel epitel tebal dan kecil yang dinamakan mammary band pada hari ke 32. Perkembangan fase prenatal selanjutnya yaitu mammary streak pada hari ke 34, mammary line pada hari ke 35, mammary cress pada hari ke 37, mammary hillock pada hari ke 40 dan mammary bud pada hari ke 43. Fase kedua pada perkembangan ambing yaitu fase fetus dimana terjadi perkembangan kelenjar mammae hingga tumbuh puting. Tahapan pada fase fetus yaitu primary sprout (kecambah primer), secondary sprout (kecambah sekunder), saluran primary sprout, perkembangan gland cistern dan teat cistern, dan selanjutnya yaitu perkembangan median suspensory ligament. Fase ketiga perkembangan ambing yaitu fase pubertas. Perkembangan ambing pada fase pubertas ditandai dengan adanya peningkatan jaringan ikat dan lemak, serta adanya kerja hormon esterogen dan progesteron. Zaenudin dkk. (2015) menyatakan bahwa sapi dara yang belum matang atau mencapai masa pubertas, secara struktural tumbuh pembuluh mammae dan alveoli, serta perkembangan kelenjar mammae dipengaruhi oleh hormon progesteron dan esterogen.
Perkembangan ambing pada fase kebuntingan ditandai dengan bekerjanya sel-sel sekretori untuk proses biosintesis susu dan alveoli serta terjadinya peningkatan jumlah sel epitel. Triani (2011) menyatakan bahwa perkembangan kelenjar mammae pada saat kebuntingan terjadi secara maksimal untuk mempersiapkan proses produksi susu. Hal ini didukung oleh pendapat dari Zainudin dkk (2015) yang menyatakan bahwa kelenjar mammae saat masa kebuntingan akan tumbuh dan berkembang secara cepat dan optimal untuk memproduksi susu. Fase perkembangan ambing yang terakhir yaitu fase laktasi, dimana pada fase ini ambing ternak telah mampu bekerja secara utuh untuk memproduksi susu stelah pedhet lahir. Produksi susu yang pertama setelah kelahiran tidak boleh langsung diperah karena susu yang pertama kali diproduksi adalah kolostrum. Kolostrum sebaiknya diberikan kepada pedhet karena dalam kolostrum kaya akan antobodi. Sangbara (2011) menyatakan bahwa kelenjar susu pada ternak sapi perah akan mengeluarkan kolostrum setelah kelahiran pedhet yang di dalamnya terdapat bahan – bahan antibodi yang dapat melindungi pedhet dari penyakit setelah kelahiran.

3.4.      Anatomi biologis ambing

            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa bagian ambing terdiri dari bagian eksterior dan interior sebagai berikut:


1.      Medial suspensory ligament
2.      Membrane vine

3.      Lateral suspensory ligament

4.      Outer wall

Ilustrasi 14. Bagian-bagian Eksterior Ambing
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa bagian eksterior ambing terdiri dari medial suspensory ligament yang berfungsi sebagai sekat pemisah antara ambing kanan dan kiri. Membrane fine memiliki fungsi sebagai sekat pemisah antara ambing depan dan belakang. Adanya sekat pemisah ini berfungsi untuk membagi ambing menjadi empat bagian dan juga untuk mencegah penyebaran penyakit dari satu kuartir ke kuartir yang lain. Haerah (2015) menyatakan bahwa medial suspensory ligament dan lateral suspensory ligament berfungsi sebagai penyekat yang membagi ambing menjadi empat kuartir yang saling terpisah sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit dari satu kuartir ke kuartir yang lain. Pabana (2011) menyatakan bahwa adanya pembagian ambing menjadi empat kuartir ini akan memudahkan dalam proses pemerahan.
Bagian eksterior ambing yang lain yaitu lateral suspensory ligament dan outer wall. Lateral suspensory ligament berfungsi untuk menopang ambing agar tetap menempel pada abdomen. Pabana (2011) menyatakan bahwa pada ambing terdapat bagian yang disebut dengan lateral suspensory ligament yang berfungsi sebagai penggantung ambing agar tetap menempel pada abdomen. Outer wall memiliki fungsi sebagai pelindung ambing dari pengaruh luar. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu (2015) yang menyatakan bahwa ambing memiliki bagian luar (outer wall) yang berfungsi sebagai pelindung ambing dari berbagai pengaruh luar seperti lingkungan.

 



1. Alveolus
2. Lobulus
3. Lobus
4. Milk duct
5. Gland cistern
6. Annular fold
7. Teat cistern
8. Teat meatus
9. Streak canal
10. Lumen
11. Myoephitel
12. Secretory cell

Ilustrasi 15. Bagian-bagian Interior Ambing
            Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa bagian interior ambing terdiri atas alveolus yang merupakan unit-unit sekretori yang didalamnya terdapat lumen yang berfungsi untuk menyerap prekursor susu yang dibawa oleh darah dan juga untuk mencampur komponen susu menjadi satu sebelum dikeluarkan. Pabana (2011) menyatakan bahwa alveolus ambing merupakan unit-unit sel sekretori yang didalamnya terdapat bagian yang disebut lumen. Gabungan dari beberapa alveolus akan menjadi lobulus, sedangkan gabungan dari beberapa lobulus akan membentuk lobus. Haerah (2015) menyatakan bahwa alveolus merupakan struktur utama untuk membentuk susu karena didalamnya terdapat lumen yang berfungsi sebagai alat untuk penyerapan prekursor susu dalam darah, kumpulan alveolus akan membentuk lobulus dan kumpulan lobulus akan membentuk lobus. Cairan susu dari lumen akan dialirkan menuju glandcistern melalui milkduct.
Glandcistern memiliki fungsi sebagai wadah penampung susu yang sebelumnya mengalir dari lumen. Annularfold berfungsi sebagai penahan susu agar tidak keluar dari glandcistern serta sebagai pencegah masuknya bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada saat proses pemerahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu (2015) yang menyatakan bahwa glandcistern merupakan wadah atau tempat penampung susu yang berasal dari berbagai milkduct yang terdapat annularfold sebagai penahan tekanan susu, dimana glandcistern ini berhubungan dengan teatcistern. Teatcistern memiliki fungsi sebagai wadah penampung susu setelah dikeluarkannya susu dari glandcistern. Teat meatus berfungsi sebagai tempat keluarnya susu dari streak canal. Streak canal memiliki fungsi sebagai lubang keluarnya susu dari dalam tubuh ternak ketika pada saat proses pemerahan. Streak canal pada saat tidak terjadi pemerahan harus dalam keadaan tertutup agar tidak ada mikroorganisme yang masuk pada ambing. Hal ini sesuai dengan pendapat Pabana (2011) yang menyatakan bahwa streak canal merupakan bagian terakhir yang akan dilewati oleh susu ketika terjadi proses pemerahan.
3.5.      Biosintesis susu
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui  bahwa sel-sel sekretori yang terdapat pada kelenjar susu menggunakan nutrisi dari bahan pakan yang dikonsumsi oleh hewan ternak untuk mensintesis susu. Menurut Lestari (2006) Sintesis susu dilakukan oleh sel–sel sekretori pada kelenjar susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang dikonsumsi. Biosintesis susu yang terjadi di dalam ambing meliputi biosintesis protein, lemak dan laktosa. Pada saat siklus estrus dan tahap awal kebuntingan hormon mamogenik (estrogen, progesteron dan relaksin) disekresi oleh ovarium dan korpus luteum, namun selama periode kebuntingan sekresi hormon mamogenik (estradiol, progesteron dan laktogen plasenta) dilakukan oleh organ plasenta.
Tahap laktasi, síntesis susu dikontrol oleh hormon tiroksin (síntesis protein), paratiroid (síntesis Ca dan P), insulin (síntesis glukosa) dan aldosteron (síntesis elektrolit dan mineral), sedangkan sekresi susu lebih banyak dikontrol oleh hormon prolaktin dan oksitosin. Andrews dkk.(2008) menyatakan bahwa jumlah dan aktivitas sel sekretori selama laktasi dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing.  Komponen yang terdapat di dalam susu antara lain  air, lemak, protein, laktosa, SNF (Solid Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL). Komposisi susu antara lain 3,7% lemak susu, 4,9% laktosa dan 3,5% protein. Air merupakan medium dispersersi lemak dan komponen yang larut dalam air susu sehingga kadar air dalam susu tinggi yaitu 87,5%. Faktor yang mempengaruhi komponen susu yaitu pakan yang dikonsumsi oleh sapi perah, umur sapi, iklim dan waktu pemerahan.
 
























Ilustrasi 16. Skema Biosintesis Protein Susu

Pakan yang dimakan oleh ternak mengandung protein dan Non Protein Nitrogen (NPN). Protein di rumen dibagi menjadi dua yaitu Rumen Degradable Protein (RDP) dan Rumen Undegradable Protein (RUP). RDP di rumen mengalami  degradasi menjadi NH3  yang digunakan oleh mikroba untuk sintesis protein dalam tubuhnya. Menurut Hindratiningrum (2011) Amonia (NH3) digunakan untuk membangun sel mikroba yang terbentuk dari proses deaminasi asam amino. Protein mikroba kemudian diserap oleh usus halus kedalam darah dan menghasilkan asam amino. RUP di rumen mengalami by pass ke usus halus dan menghasilkan asam amino. Asam amino merupakan bahan baku untuk sintesis protein susu yang dilakukan oleh sel-sel sekretori di ribosom yang mengandung bahan genetik (DNA), sebagian besar dari ribosome terikat pada membran rangkap dari endoplasmik retikulum, tetapi sebagian lainnya terletak bebas di dalam sitoplasma.Sintesis protein susu terjadi didalam sel epitel yang dikontrol oleh gen yang mengandung kode genetik yaitu Deoxyribonucleic acid  (DNA). Urutan pembentukan protein susu yaitu dimulai dengan replikasi dari DNA, dilanjutkan transkripsi dari Ribonucleic acid (RNA) dari DNA, kemudian translasi terbentuknya protein menurut informasi RNA. Aisyah (2011) menyatakan bahwa sintesis protein susu mengalami 3 proses yaitu replikasi, transkripsi dan translasi. Non Nitrogen Protein (NPN) yang mengandung banyak urea akan langsung masuk ke rumen menjadi protein mikroba. Non Nitrogen Protein (NPN) terdapat dalam jumlah yang sangat kecil (trace), yang terbentuk dari hasil metabolisme nitrogen dalam tubuh sapi dan dalam sistesis susu. Contoh dari Non Nitrogen Protein (NPN) tersebut yaitu amonia, urea, kreatinin, metil guanidine, asam urat, adenin, guanin, hipoxantin, asam orotik, asam hipurat dan indikan.

Rounded Rectangle: Pakan
Rounded Rectangle: Lemak Kasar
Rounded Rectangle: Lemak Susu
 



























Ilustrasi 17. Skema Biosintesis Lemak Susu

Pakan yang dimakan oleh ternak mengandung serat kasar. Serat kasar di rumen mengalami fermentasi yang dilakukan oleh mikroba rumen menghasilkan Volatil Fatty Acid (VFA). Volatil Fatty Acid (VFA) akan terbagi menjadi 3 yaitu propionat, asetat dan butirat. Asetat merupakan bahan baku untuk sintesis lemak.  Menurut Mutamimah dkk. (2013) bahwa asetat merupakan prekursor lemak susu yang diserap oleh usuh halus masuk kedalam darah kemudian di ubah menjadi asam lemak yang akan masuk kedalam sel-sel sekresi ambing dan menjadi lemak susu. Beta Hidroksi Butirat Acid (BHBA) dari butirat juga digunakan untuk sintesa asam-asam lemak. BHBA digunakan untuk rantai karbon permulaan sebagai tambahan unit-unit C2 dan sebagian untuk pembentukan unit-unit C2 dan digunakan sebagai unit Acetyl CoA untuk sintesa asam lemak. Menurut pendapat Mulyati dan Purnomoadi (2007) bahwa asam butirat kemudian akan diubah menjadi asam b-hidroxy butirat oleh dinding rumen kemudian diabsorpsi melalui dinding rumen ke dalam darah yang bersama asam asetat dan lemak darah merupakan prekursor untuk sintesis asam lemak susu. Asam lemak kemudian diserap oleh usus halus dan sel-sel sekretori yang berada di sitoplasma mengubah asam-asam lemak menjadi lemak susu. Kandungan lemak pada susu bervariasi antara 3 – 6 %. Lemak akan mengalami dispersi dalam bentuk globula atau butiran-butiran kecil dan mengalami emulsi antara lemak dengan air yang terjadi didalam usus. Globula tersebut memiliki ukuran antara 0,5 sampai 20 mikron dengan rata-rata 3 mikron. Setiap tetes susu mengandung 100 juta globula lemak yang sangat penting di dalam proses pemisahan lemak dari susu pada saat proses churning (pemisahan lemak dari susu pada saat pembuatan mentega). Setiap globula pada lemak dikelilingi oleh suatu lapisan tipis yang terdiri atas fosfolipida dan protein.
Rounded Rectangle: Pakan
Rounded Rectangle: 2 Glukosa – 1 Galaktosa – 1 Glukosa
Rounded Rectangle: Usus Halus
Text Box: Aparatus Golgi
Rounded Rectangle: Sel-sel Sekretori
Rounded Rectangle: Laktosa Susu
 




























Ilustrasi 18. Skema Biosintesis Laktosa Susu
Pakan hijauan yang dimakan oleh ternak mengandung serat kasar yang tinggi. Serat kasar yang tinggi tersebut masuk ke dalam rumen dan mengalami fermentasi yang dilakukan oleh mikroba rumen untuk menghasilkan Volatil Fatty Acid (VFA). Volatil Fatty Acid (VFA) dibagi menjadi 3 yaitu propionat, asetat dan butirat. Propionat merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk sintesis laktosa susu. Propionat dapat diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis yang berada di hati, di dalam hati terjadi proses glukoneogenesis yang akan membentuk glukosa, dibawa darah yang akan menuju sel sekretori. Menurut pendapat Yusuf (2010) propionat di hati akan mengalami proses glukoneogenesis sehingga terbentuk glukosa. Sel-sel sekretori yang berada di aparatus golgi akan mengubah glukosa menjadi laktosa susu. Laktosa susu merupakan salah satu komponen sumber karbohidrat utama yang terdapat didalam susu sebanyak 4,8% dan memberikan rasa manis pada susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Susilowati dkk. (2013) menyatakan bahwa laktosa susu adalah sumber karbohidrat utama dalam susu yang memberikan rasa manis pada susu. Kadar laktosa yang terkandung dalam susu adalah 4,8%. Laktosa merupakan senyawa disakarida, apabila laktosa tersebut dihidrolisa akan menghasilkan dua macam molekul karbohidrat sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Laktosa dapat mempengaruhi stabilitas dari titik beku, titik didih, dan tekanan osmosis pada susu karena laktosa dapat larut dalam susu. Laktosa mampu di fermentasi oleh bakteri-bakteri tertentu yang akan menghasilkan asam laktat sehingga dapat menyebabkan rasa asam dari susu.


3.6.      Milk Let Down
            Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat digambarkan diagram sebagai berikut:
Text Box: Oksitosin (+)
Susu keluar
 
 













Ilustrasi 19. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Positif
Milk let down merupakan proses pengeluaran susu dari tubuh ternak yang diawali oleh adanya rangsangan yang melewati tahapan dari sistem kerja hormon, sistem pembuluh darah hingga keluar tubuh ternak.Rangsangan syaraf seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu mengalir keluar tubuh ternak. Terdapat dua jenis rangsangan ketika terjadi proses milk let down yaitu rangsangan positif yang berupa pengeluaran hormon oksitosin yang menyebabkan susu mengalir keluar dan rangsangan negatif yang berupa pengeluaran hormon epineprin yang menyebabkan susu tidak keluar. Proses milk let downrangsangan positif diawali dengan adanya rangsang yang dikirim melalui spinalis cord menuju hipotalamus yang merangsang releasing factoroxytocin yang dibawa menuju hipofisa posterior kelenjar posterior pituitary dan menghasilkan hormon oksitosin. Menurut Kentjonowaty dkk. (2014) bahwa pengeluaran susu dari tubuh ternak oleh ambing dipengaruhi oleh kerja dari hormon oksitosin yang sebelumnya dilepaskan oleh kelenjar pituitary posterior yang merupakan stimulator pemberi perintah pada alveolus di ambing untuk mengeluarkan susu. Proses selanjutnya adalah dibawa melalui vena jugularis menuju jantung dan dipompa melalui aorta, dialirkan lewat arteri pudenda interna yang ada di perut dan arteri pudenda eksterna yang ada di punggung kemudian dibawa menuju sel sekretori untuk dialirkan menuju lumen dimana hormon oksitosin yang telah dihasilkan akan merangsang kontraksi mioepitel sel. Hal ini sesuai dengan pendapat Surjowardojo dkk. (2016) yang menyatakan bahwa proses keluarnya susu dirangsang oleh kerja hormon oksitosin yang dihasilkan kelenjar pituitary posterior. Susu yang dihasilkan selanjutnya akan ditampung sementara di gland cistern yang selanjutnya dialirkan dariteat meatus melalui sistem kerja annular fold dan dikeluarkan dari streak canal yang merupakan bagian terakhir pengeluaran susu.


 








Ilustrasi 20. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Negatif
Proses pengeluaran susu rangsang negatif diawali dengan adanya rangsangan berupa rasa sakit pada ternak yang dibawa melalui spinalis cord menuju hipotalamus, diteruskan menuju hipofisa posterior yang merangsang disekresikannya hormon epineprine oleh kelenjar adrenal. Hal ini sesuai dengan pendapat Kentjonowaty dkk. (2014) yang menyatakan bahwa ketika pengurutan pada kelenjar mammae terlalu kuat akan menimbulkan rangsang rasa sakit yang mengakibatkan kelenjar adrenalin menghasilkan hormon eprineprin. Epineprinkemudian dibawa melalui vena jugularis menuju jantung dan dipompa melalui aorta, dialirkan lewat arteri pudenda interna yang ada di perut dan arteri pudenda eksterna yang ada di punggung kemudian dibawa menuju sel sekretori dan lumen dimana hormone epineprin akan menghambat mioepitel sel untuk berkontraksi sehingga tidak terjadi pengeluaran susu. Tristy (2009) menyatakan bahwa peningkatan hormon epineprin yang disekresikan kelenjar adrenalin mengakibatkan laju hormon oksitosin terhambat di dalam pembuluh darah yang menyempit.

3.7.      Kualitas susu


             Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
            Tabel 3. Kualitas Susu Sapi Perah
No.
Identitas Sapi
BJ Susu
Produksi susu

1.

Sapi nomor 2
-------g/ml-------
1,0265
---------l--------
13
2.
Sapi nomor 1
1,0307
9
3.
Sapi nomor 9
1,0241
9
4.
Sapi nomor 11
1,0280
7

Berat jenis susu pada air susu yang telah diuji yaitu 1,0241 g/ml pada susu segar. Hal ini menunjukkan bahwa hasil berat jenis susu segar berada dibawah nilai normal. Awitri dkk. (2010) menyatakan bahwa standar nilai berat jenis susu segar yang normal menurut Badan Standarisasi Nasional (1998) yaitu 1,028 dengan suhu 27,5 0C. Nilai berat jenis susu sapi nomor 9 merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan nilai berat jenis susu sapi yang lain. Kandungan lemak dan bahan padatan bukan lemak yaitu berupa laktosa, protein dan mineral merupakan faktor yang dapat mempengaruhi nilai berat jenis susu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kadar lemak, maka semakin rendah nilai berat jenis susu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Utami dkk. (2014) yang menyatakan bahwa nilai berat jenis pada susu segar dapat dipengaruhi oleh kandungan bahan yang dapat larut dalam susu yaitu terdiri dari lemak dan bahan bukan lemak.

3.8.      Recording

            Recording merupakan kegiatan pencatatan yang dilakukan terhadap ternak untuk mengetahui pertumbuhan termak, produksi, reproduksi dan kesehatan ternak. Menurut Kuswahyuni dkk. (2009) kegiatan recordingyang dilakukan meliputi silsilah keturunan ternak, jumlah produksi susu, reproduksi ternak dan lainnya. Recording penting dilakukan oleh peternak, karena recording dapat membantu peternak dalam menentukan jumlah pakan yang akan diberikan, menentukan jumlah produksi susu, menentukan pemilihan pejantan dan indukan serta mengetahui kesehatan ternak sehingga dapat dilakukan pencegahan gejala penyakitmaupun penanganan penyakit dan meningkatkan keuntungan dari peternak. Susilorini dkk. (2008) berpendapat bahwa informasi yang didapatkan dari pencatatan (recording) dalam sebuah usaha peternakan sapi perah adalah hal yang penting bagi peternak. Kamiludin (2009) menyatakan bahwa perlu dilakukan pencatatan yang lengkap untuk melihat keadaan ternak yang dilihat dari aspek kesehatan, reproduksi, produksi dan manajemen usaha ternak. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa sapi nomor 9 berjenis kelamin betina, memiliki keturunan tetua jantan bangsa Friesian Holstein (FH) dan induk bangsa Peranakan Friesian Holstein (PFH) dan tubuh sapi berwarna dominan hitam.
            Produksi susu sapi nomor 9 dari bulan laktasi 1 sampai bulan laktasi ke 10 rata-rata 8,8 liter/hari. Nilai produksi susu sapi nomor 9 ini masih tergolong rendah. Menurut Putra (2009) sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) umumnya memiliki kemampuan memproduksi susu yang rendah yaitu 10 liter/hari. Hal ini didukung oleh pendapat Utami dkk. (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata produksi susu sapi perah Peranakan Friesian Holstein yaitu 12 liter/hari. Bangsa ternak sapi perah, frekuensi pemerahan, kondisi lingkungan dan kandang ternak, umur ternak, dan pemberian pakan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu ternak sapi perah. Menurut Kamiludin (2015) beberapa hal yang mempengaruhi kemampuan seekor ternak sapi perah dalam memproduksi susu diantaranya yaitu bangsa sapi, masa laktasi, estrus atau berahi sapi, masa kering kandang, pemerahan dan manajemen pemberian pakan.
Sapi nomor 9 memiliki riwayat penyakit radang uterus yang terjadi pada tanggal 10 april 2017. Radang uterus pada ternak sapi perah dapat disebabkan oleh adanya plasenta yang tertinggal didalam uterus. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor (2012) yang menyatakan bahwa plasenta yang tertinggal di uterus ternak akan menyebabkan terjadinya peradangan uterus pada ternak. Upaya untuk pengobatan yang dilakukan pada sapi tersebut yaitu menggunakan obat penstrep dan biosolavet. Menurut Yahya (2017) untuk pengobatan pada peradangan uterus dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan melakukan penyuntikan.
Perkawinan pada ternak sapi perah dapat dilakukan dengan dua metode atau cara, yaitu kawin secara alami dan inseminasi buatan dilakukan dengan penyuntikan yang dibantu oleh seorang inseminator. Syarif dan Harianto (2011) berpendapat bahwa ternak sapi yang tengah berahi sebaiknya segera dikawinkan. Terdapat dua metode perkawinan ternak sapi perah yaitu secara alami dan buatan atau (IB) Inseminasi Buatan. Sapi nomor 9 melakukan perkawinan secara alami. Perkawinan alami pada ternak dilakukan tanpa membutuhkan bantuan dari alat dan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Fikar dan Ruhyadi (2010) yang menyatakan bahwa kawin alami pada ternak dilakukan dengan mempertemukan pejantan dan betina yang terseleksi serta tanpa campur tangan manusia. Sapi nomor 9 telah mengalami partus pedet nomor A9. Pedet tersebut memiliki jenis kelamin betina dengan bobot lahir 31 kg dalam keadaan normal dan sehat.









BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1.        Simpulan
            Berdasarkan praktikum Produksi Ternak Perah disimpulkan bahwa kondisi fisiologi lingkungan yaitu meliputi suhu lingkungan, kelembapan, radiasi matahari dan perkandangan sangat mempengaruhi kondisi fisiologi ternak yaitu meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi nafas, konsumsi air minum, frekuensi urinasi dan frekuensi defikasi. Apabila kondisi fisiologi lingkungan baik maka kondisi fisiologi ternak juga baik yang akan mempengaruhi peningkatan pada produktivitas ternak. Anatomi ambing terdiri dari bagian interior dan bagian eksterior, masing-masing bagian memiliki fungsi untuk memproduksi susu. Berat jenis susu dapat mempengaruhi kualitas pada susu, faktor yang mempengaruhi berat jenis susu yaitu  kandungan larutan yang terlarut dalam susu yang terdiri dari lemak dan bahan padat bukan lemak. Recording ternak dapat membantu dalam menyeleksi ternak yang memiliki produktivitas yang tinggi.

5.2.        Saran
Sebaiknya data recording Fakultas Peternakan dan Pertanian di Universitas Diponegoro lebih lengkap lagi dan lebih tertib dalam pencatatannya, supaya mahasiswa mampu memahami dengan mudah data recording ternak.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. 2013. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe barbadensis miller. J. Gamma. 7(1): 50 – 60.

Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.

Andrews, A. H., R. W. Blower, H. Boyd, R. G. Eddy, J. Waley and Sons. 2008. Bovine Medicine Dicease and Husbandy of Cattle. Publising Company, Lowa.

Arifin, M. 2015. Kiat Jitu Menggemukkan Sapi Secara Maksimal. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Asmayadi. K., L. B. Salman dan E. Hernawan. 2016. Kajian produksi susu sapi perah Fries Holland berdasarkan pemerahan pagi dan sore di wilayah kerja KPSBU Lembang. Student e-journal Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Awitri, M. E, A. Manab, M. Ch. Padag, T. E. Susilorini, U. Wisaptiningsih dan K. Ghozi. 2010. Kajian kualitas susu pasteurisasi yang diproduksi U.D. Gading Mas selama penyimpanan dalam refrigerator. J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 5(2): 28 – 32.

Embertson, M. N. M., P. H. Robinson, J.  G.  Fadel and F.  M.  Mitloehner.  2009.Effects of shade and sprinklers on performance, behavior, physiology,and the environment of heifers.  J.  Dairy Sci.  92 : 506 – 517.

Fikar, S dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Ghiardien. A., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2016. Respon fisiologi sapi FH laktasi dengan substitusi pakan pelepah sawit dengan jumlah yang berbeda. J. Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan 4(3): 350 – 355.

Gwatibaya, S., E. Svotwa and D. Jambwa. 2007. Potential effects and management options for heat stress in dairy cows in zimbabwe. Dairy Science. 6(5): 2066 – 2074.

Haerah, D. 2015. Deteksi Streptococcusaureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).

Hindratiningrum, Novita. 2011. Produk fermentasi rumen dan produksi mikroba sapi lokal. Fakultas Peternakan Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman.

Kamiludin, A. 2009. Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah di Kawasan Peternakan Sapi Perah Cibunghulang Kabupaten Bogor. Fakultas Peternakan,Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).

Kentjonowaty, I., P. Trisunuwati., T. Susilawati dan P. Surjowardojo. 2014. Significant Influence of Mammae Hand Massage on Milk Yield in Dairy Cattle. J. Biology. 4(2): 86 – 89.

Kuswahyuni, I. S., E. Kurnianto, N. L. Nuringtyas dan S. Johari. 2009. Accuracy of milk yield estimation in dairy cattle from monthly record by regression method. J. Indonesia Trop.Anim.Agric. 34(3): 211 – 215.

Lestari, T. D. 2006.Laktasi pada Sapi Perah sebagai Lanjutan Proses Reproduksi. Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. (Skripsi).

Mariana. E., D. N. Haidi dan N. Q. Agustin. 2016. Respon fisiologis dan kualitas susu sapi perah Friesian Holstein pada musim kemarau panjang di dataran tinggi. J. Agripet 16(2): 131 – 139.

Mulyati, J. A dan A. Purnomoadi. 2007. Produksi dan komponen lemak susu kambing Peranakan Etawah akibat penghembusan udara sejuk. J. Pengembangan Peternakan Tropis. 32(2): 91 – 99.

Mutaminah, L., S. Utami dan A. T. A. Sudewo. 2013. Kajian kadar dan bahan kering tanpa lemak susu Kambing Sapera di Cilacap dan Bogor. J. Ilmiah Peternakan. 1(3): 874 – 880.

Noor, O. 2012. Manajemen Reproduksi pada Usaha Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan, Universitas Hassanudin, Makassar.(Skripsi).

Nugroho, A.T. K, P. Surjowardojo dan M. N. Ihsan. 2010. Penampilan produksi sapi perah Friesian Holstein (FH) pada berbagai paritas dan bulan laktasi di ketinggian tempat yang berbeda. J. Ilmu-ilmu Peternakan 20(1): 55 – 64.

Pabana, T. 2011. Korelasi antara Dimensi Ambing dan Puting terhadap Produksi Susu Kambing Perah Peranakan Etawa (PE). Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).

Palulungan, J. A., Adiarto dan T. Hartatik. 2013. Pengaruh kombinasi pengkabutan dan kipas angin terhadap kondisi fisiologis sapi perah peranakan Friesian Holland. Buletin Peternakan 37(3): 189 – 197.

Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih pada Usaha Peternakan Sapi Perah (Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). Magister Ilmu Lingkungan,Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis).

Rahayu, S. 2015. Deteksi Streptococcusagalactiae Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).

Riyanthi. 2006. Tingkah Laku Makan Sapi Peranakan Friesian Holstein Laktasi yang diberi Pakan Rumput Gajah dengan Ukuran Pemotongan yang Berbeda. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro. (Skripsi).

Robichaud, M.V., A.  M.  de Passillé, D.  Pellerin and J.  Rushen.  2011.  When and  where do dairy cows defecate and urinate.  J.  Dairy Sci.  94:4889 – 4896.

Salale, C. C. L., B. Rorimpande, M. T. Massue dan P. O. V. Waleleng. 2014. Analisis penggunaan faktor produksi pada perusahaan Ayam Petelur (Studi kasus pada U.D. Kakaskaren Indah dan C.V. Nawarwa Farm). 34 : 1 – 14.

Sangbara, Y. 2011. Pengaruh Periode Laktasi terhadap Produksi Susu pada Sapi Perah Fries Holland di kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan, Universitas Hassanudin, Makassar. (Skripsi)

Sudrajad, P dan Adiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap performa produksi susu sapi Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturraden. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Teknologi Peternakan dan Veteriner untuk Peningkatan Produksi dan Antisipatif terhadap Perubahan Iklim. Yogyakarta. 7 – 8 Juni. Hal

Surjowardojo. P dan M. N. Ihsan. 2013 Penampilan produksi sapi perah Friesian Holstein (FH) pada berbagai paritas dan bulan laktasi di ketinggian tempat yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu Peternakan 20(1): 55 – 64.

Surjowardojo. P., P. Trisunuwati dan S. Khikma. 2016. Pengaruh Lama Massage dan Lam Milk Flow Rate terhadap laju pancaran produksi susu sapi Friesian Holstein di PT Greenfields Indonesia. J. Ternak Tropika. 17(1): 49-56.

Susilorini, T. E., M. E. Sawitri dan Muharlein. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Susilowati, D. R., S. Utami, H. A. Suratim. 2013. Nilai berat jenis dan total solid susu Kambing Sapera di Cilacap dan Bogor. J. Ilmiah Peternakan. 1(3): 1071 – 1077.

Syarif, E. K dan B. Harianto. 2011. Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Syukur, A. dan B. Suharno. 2014. Bisnis Pembibitan Kambing. Penebar Swadaya, Jakarta.

Triani. 2011. Analisis Produksi Susu, Persentase Protein Susu dan Konsumsi Hijauan Sapi FH (Fries Holland) Pada Tingkat Laktasi yang Berbeda di Upt Ruminansia Besar Dinas Peternakan Kabupaten Kampar. Fakultas Pertaniandan Peternakan,Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Pekanbaru. (Skripsi).

Tristy, N. H. 2009. Hubungan Antara Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan Sapi Perah Rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi).

Triyanton. 2009. Manajemen Pemeliharaan Pedhet Sapi Perah di Peternakan Sapi Perah CV. Mawar Mekar Farm Kabupaten Karanganyar. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. (Skripsi).

Utami, K. B., L.E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(2): 58–66.

Utomo, B., D. P. Miranti dan G. C. Intan. 2009. Kajian termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi peningkatan kualitas pakan. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Peternak. Bogor. 13 – 14 Agustus. Hal 263 – 268.

Widiyantono, E. N. 2016. Pengaruh Pemberian Pakan dengan Imbangan Konsentrat dan Hijauan Yang Berbeda Terhadap Kandungan Laktosa Dan Air Pada Susu Sapi Perah. Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi).

Yahya, M. I. 2017.  Tingkat Kejadian Gangguan Reproduksi Ternak Sapi Perah di Kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi).

Yani, A. 2007. Analisis dan Simulasi Distribusi Suhu Udara pada Kandang Sapi Perah menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD). Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Yani. A dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis sapi peranakan Fries Holland dan modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. J. Media Peternakan. 29(1): 35 – 46.

Yulianto, P. dan C. Saparinto. 2014. Beternak Sapi Limousin. Penebar Swadaya, Jakarta.

Yulianto, P. dan C. Saparinto. 2014. Penggemukan Sapi Potong Hari Per Hari 3 Bulan Panen. AgroMedia Pustaka, Jakarta.

Yusuf, R. 2010. Kandungan protein susu sapi perah Friesian Holstein akibat pemberian pakan yang mengandung tepung katu (Sauropus androgymus (L.) Merr) yang berbeda. J. Teknologi Pertanian. 6(1): 1 – 6.

Zainudin, M., M. N. Ihsan dan Suyadi. 2015. Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. J. Ilmu – Ilmu Peternak. 24(3) : 32 – 37.



0 komentar:

Posting Komentar

 
TOP