BAB
I
PENDAHULUAN
Ternak sapi perah PFH merupakan
hewan yang dimanfaatkan manusia untuk diambil produk susunya dan memiliki
kandungan kalsium yang baik bagi pertumbuhan anak. Faktor yang berpengaruh pada
produktivitas sapi perah yaitu faktor genetik, masa laktasi, suhu lingkungan
kandang, kelembaban lingkungan dan kondisi ambing. Konsumsi air minum sangat mempengaruhi kondisi fisiologi ternak dan
perkandangan yang nyaman akan mempengaruhi kenyaman ternak. Kualitas susu
dilihat dari kandungan berat jenis yang terdapat pada komponen susu. Recording sapi diperlukan untuk
pemilihan ternak sapi perah yang memiliki produksi susu tinggi, pencatatan
identitas ternak dan keadaan alat reproduksi.
Tujuan dari pelaksanaan praktikum
produksi ternak perah yaitu untuk mengetahui pengaruh fisiologi lingkungan
terhadap keadaan fisiologi ternak, mengetahui dan mempelajari anatomi biologis
ambing sapi perah, proses biosintesis atau pembentukan susu, kualitas susu
dengan pengujian berat jenis susu, mengetahui perkandangan yang sesuai bagi
ternak perah dan mengetahui recording ternak.
Manfaat dari praktikum produksi ternak perah yaitu mengantisipasi kondisi
lingkungan kandang terhadap kondisi fisiologis ternak, membersihkan kandang
agar ternak merasa nyaman dan melakukan penanganan susu yang dilihat dari
kualitas susu serta memperbaiki recording
ternak.
BAB II
MATERI DAN METODE
Praktikum Produksi Ternak Perah dengan materi
Anatomi Biologis Ambing, Biosintesis susu dan Milk Let Down dilaksanakan hari Sabtu, tanggal 22 Maret 2016 pukul
14.30 – 17.00 WIB di Laboratorium Produksi Ternak Potong dan Perah, Divisi Ilmu
Ternak Perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Semarang. Praktikum dengan materi Fisiologi lingkungan, Fisiologi ternak, Recording sapi perah dan Pengukuran
Berat Jenis Susu dilaksanakan pada hari Minggu – Selasa, tanggal 23 – 25 Maret
2017 di kandang sapi perah, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
2.1. Materi
Materi
yang digunakan pada praktikum Produksi Ternak Perah yaitu Praktikum anatomi
biologis ambing menggunakan awetan ambing sapi perah, praktikum biosintesis
susu dan milk let down menggunakan
poster. Praktikum pengukuran berat jenis susu menggunakan 500 ml susu yang
diambil dari produksi pagi dan sore hari. Praktikum pada saat dikandang dengan
menggunakan sapi perah PFH untuk pengukuran fisiologi lingkungan, fisiologis
ternak dan recording sapi. Alat yang
digunakan pada praktikum meliputi thermohygrometer
sebagai alat untuk mengukur suhu dan kelembaban dalam dan luar kandang dan black globe temperature untuk mengukur
radiasi matahari di luar kandang, meteran yang digunakan untuk pengukuran
kandang, stetoskop digunakan untuk perhitungan frekuensi denyut nadi ternak, thermometer klinis untuk mengukur suhu
tubuh pada sapi, stopwatch untuk
menghitung waktu, sekop untuk membersihkan kotoran ternak dan sikat untuk
membersihkan ternak, lactodensimeter untuk
perhitungan berat jenis susu, gelas ukur digunakan untuk tempat pengukuran
volume susu dan ember digunakan untuk tempat air minum sapi.
2.2. Metode
2.2.1. Fisiologi lingkungan
Praktikum pengamatan fisiologi
lingkungan yang dilakukan meliputi suhu udara, kelembaban udara, radiasi
matahari dan perkandangan. Pengamatan suhu, kelembaban dan radiasi matahari
dilakukan selama 48 jam dan setiap 2 jam sekali yaitu pada pukul 18.00, 20.00,
22.00, 00.00, 02.00, 04.00, 06.00, 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00
kemudian di catat hasilnya pada diktat.
2.2.1.1. Suhu lingkungan, pengamatan
dilakukan dengan meletakkan dua alat thermohygrometer
di dalam dan di luar kandang untuk mengukur suhu dalam dengan digantung di
dalam kandang tanpa terkena sinar matahari secara langsung, sedangkan untuk
pengukuran suhu luar dengan digantung di pohon luar kandang dengan secara
langsung terkena sinar matahari. Suhu lingkungan dapat diketahui dengan skala
angka pada alat thermohygrometer dibaca
dan di catat hasilnya pada diktat.
2.2.1.2. Kelembaban, pengamatan
dilakukan dengan cara
alat thermohygrometer diletakkan di
dalam dan di luar kandang untuk mengukur kelembaban dalam dengan digantung di
dalam kandang tanpa terkena sinar matahari secara langsung, sedangkan untuk
pengukuran kelembaban di luar kandang digantung di pohon dengan secara langsung
terkena sinar matahari. Kelembaban lingkungan dapat diketahui dengan skala
angka pada alat thermohygrometer
dibaca dan di catat hasilnya pada diktat.
2.2.1.3. Radiasi matahari, pengamatan
dilakukan dengan alat black globe
temperature diletakkan di luar kandang yang terkena sinar matahari secara
langsung untuk mngetahui suhu pada alat tersebut, kemudian suhu pada alat black globe temperature dibaca pada
skala yang tertera pada garis merah dan di catat hasilnya pada diktat.
Perhitungan radiasi matahari dilakukan dengan menggunakan rumus :
R = s x T4
Keterangan
: R = Radiasi Matahari (Kkal/m2/jam)
s = Konstanta Stefan Boltzmann (4,903 ´ 10-8)
T = Suhu mutlak dalam derajat Kelvin (273 +
0C)
2.2.1.4. Perkandangan sapi perah, metode
yang digunakan dalam pengukuran perkandangan yaitu dilakukan dengan cara
kandang diukur menggunakan meteran, meliputi panjang kandang, lebar kandang,
tinggi kandang, panjang palung, lebar palung, kedalaman palung, tinggi palung,
panjang selokan, lebar selokan, kedalaman selokan, panjang stall, lebar stall,
tinggi stall dan luas kamar susu
serta diamati tipe perkandangannya dan di catat pada diktat
2.2.2.
Fisiologi ternak
Parameter
yang diamati dalam pengukuran fisiologi ternak meliputi suhu tubuh, denyut
nadi, frekuensi nafas, konsumsi air minum, frekuensi urinasi dan frekuensi
defekasi. Pengukuran dilakukan selama 48 jam dan setiap 2 jam sekali yaitu pada
pukul 18.00, 20.00, 22.00, 00.00, 02.00, 04.00, 06.00, 08.00, 10.00, 12.00,
14,00, 16.00, 18.00 kemudian di catat hasilnya pada diktat.
2.2.2.1.
Suhu tubuh, pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan cara
pengukuran suhu rektal, thermometer
klinis dimasukkan ke dalam bagian rektum ternak, ditunggu hingga berbunyi
kemudian ditarik keluar, diamati dan dicatat angka yang menunjukkan suhu tubuh
ternak. Pengukuran suhu tubuh dilakukan setiap 2 jam sekali selama 48 jam
kemudian hasilnya dicatat pada diktat.
2.2.2.2.
Denyut nadi, denyut nadi diukurmenggunakan stetoskop
dengan cara stetoskop diletakkan pada kaki depan sebelah kiri bagian ketiak
ekor ternak dan dirasakan denyut nadi selama satu menit.
2.2.2.3.
Frekuensi nafas, pengukuran frekuensi nafas dilakukan
dengan cara diamati gerakan tulang rusuk ternakdari kejauhan dan dengan
menggunakan pengukuran lewat hidung selama satu menit.
2.2.2.4.
Konsumsi air minum, pengukuran konsumsi air minum dengan
cara air diisi ke dalam ember sebanyak 10 liter. Kemudian diberikan kepada
ternak dan ditunggu selama 30 menit, misal ternak tidak meminumnya maka diambil
minumannya dan diberikan lagi setiap satu jam sekali selama 48 jam. Banyaknya
konsumsi air yang diminum oleh ternak di catat pada diktat.
2.2.2.5.
Frekuensi urinasi, pengamatan
dilakukan dengan mengamati ternak saat urinasi dengan cara menghitung frekuensi
urinasi pada sapi selama 48 jam dan kemudian di catat pada diktat.
2.2.2.6.
Frekuensi defeksi, pengukuran frekuensi defekasi ternak
dilakukan dengan cara mengamati waktu ternak mengeluarkan feses selama 48 jam
dan kemudian dicatat pada diktat
2.2.3. Perkembangan ambing
Metode yang digunakan
pada materi perkembangan ambing yaitu dengan berdiskusi mengenai fase-fase
perkembangan ambing yang dijelaskan oleh perwakilan salah satu praktikan dan
praktikan yang lain menanggapi dengan bertanya atau menambahkan apa yang telah
disampaikan oleh perwakilan tersebut. Asisten menambahkan penjelasan mengenai
fase-fase perkembangan ambing. Hasil dari diskusi dicatat pada diktat.
2.2.4. Anatomi
biologis ambing
Metode
yang digunakan dalam anatomi biologis ambing yaitu dilakukan dengan cara
mengamati preparat awetan ambing,
mengetahui letak serta fungsi organ eksternal dan mengetahui letak dan
fungsi internal ambing dengan menggunakan poster, menulis dan mendiskusikan
hasil pengamatan tentang fase-fase perkembangan ambing.
2.2.5. Biosintesis susu
Metode yang digunakan
pada materi biosintesis susu yaitu dengan cara berdiskusi menjelaskan
biosintesis susu oleh perwakilan praktikan di depan para praktikan lainnya
dengan menggambarkan skema biosintesis susu pada papan tulis, kemudian di
jelaskan mengenai skema biosintesis susu. Praktikan yang lainnya menanggapi
dengan bertanya atau menambahkan penjelasan dari skema tersebut. Asisten
menambahkan penjelasan mengenai biosintesis susu. Hasil dari diskusi dicatat
pada diktat.
2.2.6.
Milk
let down
Metode
yang digunakan pada materi milk let down dengan
menggambarkan dan mendiskusikan bagian proses pengeluaran air susu akibat
rangsangan positif dan rangsangan negatif, kemudian hasil dari pengamatan
dipresentasikan didepan teman - teman dan asisten serta di catat pada diktat.
2.2.7. Kualitas susu
Metode yang digunakan
dalam pengukuran berat jenis adalah
dengan cara susu segar sebanyak 500 ml dituangkan pada gelas ukur, kemudian laktodensimeter dimasukkan ke dalam
gelas ukur dengan dipegang pada bagian ujungnya lalu diputar, ditunggu hingga laktodensimeter berhenti berputar. Laktodensimeter kemudian dibaca skala
suhu dan berat jenis susu, selanjutnya berat jenis susu dihitung dengan
menggunakan rumus :
Berat Jenis Susu = Skala Terukur – (27,5 – T) x 0.0002
Keterangan :
T = suhu susu (oC)
2.2.8. Recording
Metode
yang dilakukan dalam recording yaitu
dengan melakukan wawancara kepada ketua KSTP (Kelompok Studi Ternak Perah)
tentang recording sapi perah yang
digunakan dalam praktikum. Recording
ternak meliputi identitas ternak, produksi ternak, penyakit dan kesehatan
ternak, reproduksi, kebuntingan dan partus.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Fisiologi
Lingkungan
Fisiologi lingkungan
merupakan kondisi lingkungan tempat ternak tinggal dan dapat berpengaruh secara
langsung terhadap kehidupan ternak. Fisiologi lingkungan terdiri dari suhu luar
dan suhu dalam kandang, kelembaban udara kandang, radiasi matahari dan sistem perkandangan. Fisiologi
lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kondisi kandang dan
tingkatkenyamananpada ternak sapi perah sehingga dapat mempengaruhi produktivitas
ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani (2007) yang menyatakan bahwa
kondisi kandang dengan melihat kenyaman ternak sapi perah dapat ditunjukkan
dengan fisiologi lingkungan ternak yang meliputi suhu udara, kelembaban dan
radiasi matahari. Kondisi suhu
udara, kelembaban dan radiasi matahari merupakan variabel fisiologis lingkungan
yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Yani dan Purwanto (2006) yang menyatakan bahwa fisiologi pada
lingkungan dengan tingginya suhu, kelembaban dan radiasi matahari sangat
mempengaruhi terhadap tingkat produksi ternak sapi perah PFH. Suhu, kelembaban
dan radiasi matahari merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap
lingkungan ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo dkk. (2009) yang
menyatakan bahwa faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada ternak yaitu suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin dan radiasi matahari.
3.1.1. Suhu lingkungan
Berdasarkan praktikum yang
telah dilaksanakan diperoleh grafik sebagai berikut :
Ilustrasi 1. Grafik Suhu Lingkungan Dalam dan
Luar Kandang
Berdasarkan ilustrasi diatas
diketahui bahwa rata-rata suhu dalam dan luar kandang masing-masing yaitu 29 oC dan 29,24 oC.
Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu udara berada dalam kondisi yang tidak
nyaman karena diatas termonetral zone atau
diatas zona nyaman ternak sehingga dapat meningkatkan produksi panas tubuh.
Menurut Nugroho dkk. (2010) bahwa kisaran suhu udara yang nyaman untuk pemeliharaan
ternak sapi perah berkisar antara 18 – 25 oC. Suhu udara yang tinggi
akan menyebabkan cekaman panas terhadap ternak sehingga berakibat pada
terjadinya penurunan produktivitas ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo
dkk. (2009) yang menyatakan bahwa suhu lingkungan sangat mempengaruhi konsumsi
pakan, produksi, komposisi susu dan produksi panas tubuh.
3.1.2. Kelembaban
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh grafik sebagai berikut :
Ilustrasi 2. Grafik Kelembaban Dalam dan Luar
Kandang
Berdasarkan ilustrasi
diatas dapat diketahui bahwa nilai kelembaban dalam dan luar kandang berada diatas
nilai normal yaitu sebesar 83,37% dan 81,71%. Lingkungan dengan nilai
kelembaban tinggi akan mengakibatkan penurunan produktivitas ternak sapi perah
karena ternak akan merasakan cekaman panas dalam tubuhnya. Menurut Sudrajad dan
Adiarto (2011) bahwa kisaran nilai normal kelembaban lingkungan ternak sapi
perah adalah 60 – 80%. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kelembaban udara
di lingkungan kandang meliputi faktor
dari suhu udara, radiasi matahari dan angin. Hal ini didukung oleh pendapat dari
Gwatibaya dkk. (2007) yang menyatakan bahwa faktor penyebab timbulnya stres
panas pada ternak diakibatkan beberapa faktor antara lain kelembaban udara yang
tinggi. Faktor ini sangat berpengaruh
terhadap penurunantingkat produktivitas pada ternak sapi perah.
3.1.3. Radiasi matahari
Berdasarkan
paktikum yang telah dilaksanakan diperoleh grafik sebagai berikut :
Ilustrasi 3. Grafik Radiasi Matahari
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diketahui
bahwa rata-rata nilai radiasi matahari diluar kandang yaitu sebesar 401,975 Kkal/m2/jam.
Nilai rata-rata radiasi matahari di wilayah Indonesia bagian barat sebesar 450
Kkal/m2/jam. Nilai ini sangat berbeda dengan hasil yang diperoleh
dari praktikum yang telah dilakukan. Perbedaan angka yang diperoleh sangat
mempengaruhi tingkat kenaikan suhu dan kelembaban lingkungan, selain itu tinggi
rendahnya radiasi matahari dapat dipengaruhi juga oleh jarak antara matahari
dan bumi, panjang hari dan intensitas dari radiasi matahari. Tingkat radiasi
matahari yang tinggi dapat menyebabkan ternak merasa kepanasan dan tidak nyaman
bahkan mengalami stres panas sehingga sebagai upaya mencegah stres panas, ternak
akan mencari tempat untuk berlindung dan berteduh untuk melepaskan panas
tubuhnya melalui frekuensi nafas dan keringat yang dihasilkan dari dalam tubuh
ternak. Menurut pendapat Yani dan Purwanto (2006) bahwa rata-rata nilai radiasi
matahari di Indonesia bagian barat sebesar 450 Kkal/m2/jam,
nilai radiasi tersebut dapat meningkat hingga 480 Kkal/m2/jampada
siang hari. Akoso (2008) menyatakan bahwa proses pertambahan panas tubuh
terjadi secara sensible yaitu dengan
melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Mekanisme jalur untuk
pelepasan panas dengan evaporative heat
loss dilakukan dengan cara pengeluaran panas tubuh melalui permukaan kulit
(sweating).
3.1.4.
Perkandangan
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan dapat diketahui bahwa peternakan sapi perah Fakultas Peternakan
dan Pertanian Universitas Diponegoro memiliki hasil sebagai berikut :
Tabel. 1. Hasil Pengukuran Kandang
Parameter
|
Ukuran
|
Panjang kandang (m)
|
12,70
|
Lebar kandang (m)
|
8,28
|
Tinggi atap (m)
|
4,12
|
Panjang palung (m)
|
9,20
|
Lebar palung (cm)
|
54
|
Kedalaman palung (cm)
|
51
|
Tinggi palung (cm)
|
63
|
Panjang selokan (m)
|
9,5
|
Lebar selokan (cm)
|
25
|
Kedalaman selokan (cm)
|
6
|
Panjang stall (cm)
|
160
|
Lebar stall (cm)
|
260
|
Tinggi stall (cm)
|
130
|
Luas kamar susu (m2)
|
53,12
|
Kandang tersebut memiliki arah
bangunan dari selatan ke utara. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan intensitas
cahaya yang diterima oleh ternak yang dapat menyebabkan ternak yang menerima
intensitas cahaya lebih tinggi akan mengalami cekaman panas. Kandang ternak
sapi perah yang baik adalah kandang yang memiliki arah dari timur ke barat
karena cahaya matahari terbit dari arah timur menuju barat sehingga diharapkan
intensitas cahaya yang diterima oleh ternak adalah sama. Hal ini sesuai dengan
pendapat Salale dkk. (2014) yang menyatakan bahwa kandang yang baik harusnya
memiliki arah dari timur menuju barat
sehingga intensitas cahaya yang diterima oleh sapi sama. Kandang sapi perah
memiliki sistem setengah terbuka yang bertujuan untuk memperlancar sirkulasi
udara pada kandang sehingga suhu udara dalam kandang tidak terlalu tinggi
sehingga ternak merasa nyaman.Triyanton (2009)menyatakan bahwa kandang yang
dibuat dengan sistem setengah terbuka memiliki tujuan untuk memperlancar
sirkulasi udara.
|
|
Ilustrasi 4.
Kandang Tampak Dalam (Kiri) dan Tampak Luar (Kanan)
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan dapat diketahui bahwa pada kandang sapi perah terdapat tempat
minum secara otomatis sehingga peternak tidak perlu repot dalam menyediakan
kebutuhan air minum untuk ternak sapi. Sudrajat dan Ardianto (2013) berpendapat
bahwa sapi perah memerlukan air minum yang banyak untuk proses produksi susu
sehingga penyediaan tempat minum otomatis akan memenuhi kebutuhan air minum
sapi. Terdapat lampu yang berfungsi sebagai penerangan pada malam hari. Kandang
sapi perah menggunakan sistem penempatan ternak yaitu secaratail to tail sehingga memudahkan anak
kandang dalam melakukan sanitasi serta dapat mencegah penularan penyakit antar
ternak yang dapat ditularkan melalui pernafasan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Yulianto dan Saparinto (2014) yang menyatakan bahwa kandang dengan tipe tail to tail berguna untuk memudahkan
dalam sanitasi serta menjaga ternak dari penularan penyakit melalui pernafasan
antar ternak sehingga kesehatan ternak dapat terjaga.
|
|
Ilustrasi 5.
Palung Kandang
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa palung kandang merupakan tempat atau wadah berbentuk melengkung untuk
memberi pakan ternak. Hasil praktikum menunjukkan bahwa panjang palung kandang sapi
perah adalah 9,20 m, lebar
palung 54 cm, kedalaman palung 51 cm dan tinggi palung 63 cm. Bentuk palung
dapat mempengaruhi palatabilitas dan konsumsi pakan pada sapi. Arifin (2015)
menyatakan bahwa palung yang terlalu kecil akan menyulitkan ternak ketika mengambil pakannya sehingga akan berpengaruh terhadap
konsumsi pakan ternak yang menurun.
Palung kandang sapi perah berbentuk melengkung yang bertujuan agar pakan tidak
tersangkut pada sudut-sudut palung, pakan tidak tercecer keluar dari palungketika sapi
sedang makan serta akan memudahkan
dalampembersihan palung saat sanitasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Syukur dan Suharno (2014) yang menyatakan bahwa
palung dibuat melengkung pada sudut-sudutnya agar memudahkan dalam pembersihan
palung.
|
|
Ilustrasi 6.
Atap Kandang
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa atap kandang sapi perah menggunakan bahan atap
berupa asbes. Pemilihan bahan atap harusnya disesuaikan dengan kondisi
lingkungan kandang agar ternak dapat merasa nyaman. Hal ini sesuai dengan pendapat
Syukur dan Suharno (2014) yang menyatakan bahwa atap kandang harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan kandang dan modal yang dimiliki untuk menjaga tingkat
kenyamanan hidup ternak. Tinggi atap juga perlu diperhatikan agar sirkulasi
udara dalam kandang lancar sehingga suhu dalam kandang tidak terlalu tinggi
yang dapat berpengaruh pada tingkat kenyamanan sapi dan juga untuk
menghindarkan kepala pekerja kandang mengenai atap kandang. Pembuatan atap
kandang juga harus memperhitungkan tingkat kemiringan atap agar ketika hujan air dapat mengalir dengan
lancar dan tidak membasahi ternak. MenurutArifin (2015) menyatakan bahwa dalam
pembuatan atap sudut kemiringannya sekitar 30oC dengan bagian bawah
menuju ke belakang agar air dapat mengalir dengan lancar.
|
|
Ilustrasi 7.
Lantai Kandang
Lantai kandang pada kandang sapi
perah terbuat dari semen. Lantai kandang seharusnya dibuat tidak terlalu licin
agar sapi tidak tergelincir dan tidak terlalu kasar. Lantai kandang yang
terlalu kasar dapat menyebakan luka atau lecet pada kulit ternak segingga akan
mudah dimasuki oleh bakteri atau mikroorganisme lainnya yang dapat menyebabkan
infeksi. Hal ini sesuai dengan Yulianto dan Saparinto (2014) yang menyatakan
bahwa lantai kandang yang licin akan membuat ternak tidak dapat berdiri tegak
dan dapat tergelincir sedangkan lantai kandang yang kasar akan membuat kulit
ternak menjadi terluka atau lecet. Lantai kandang pada sapi perah dilengkapi
dengan selokan yang ditujukan untuk mempermudah dalam sanitasi. Kemiringan
lantai perlu diperhitungkan agar ketika sapi urinasi maka urinnya dapat
langsung mengalir menuju selokan sehingga lantai kandang tidak akan mudah becek
dan lembab yang dapat memicu tumbuhnya mikroorganisme penyebab penyakit. Menurut
Arifin (2015)kemiringan lantai kandang sekitar 2-3 cm untuk menjaga air dapat
mengalir dengan lancar.
|
|
Ilustrasi 8. Stall Kandang
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa stall
kandang merupakan sekat yang digunakan untuk membatasi ternak satu dengan yang
lainnya serta untuk membatasi ruang gerak ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Yulianto dan Saparinto
(2014)
yang menyatakan bahwa stall pada kandang dibutuhkan untuk
membatasi antar ternak. Sekat atau stall
kandang sapi perah terbuat dari besi yang kuat agar tidak mudah roboh ketika
terkena tubuh sapi saat bergerak. Kandang
sapi perah memiliki jarak antar stall
yang sudah cukup sehingga ternak tidak merasa sesak atau sempit dan masih dapat
bergerak dengan leluasa. Hasil praktikum didapatkan bahwa ukuran panjang stallkandang 260 cm, lebar stall
160 cm dan tinggi stall 130 cm.
Menurut Putra (2009) yang menyatakan bahwa ukuran stallkandang minimal dibuat dengan panjang 150 cm, lebar 100 cm dan
tinggi 125-150 cm agar ternak merasa nyaman dan masih bisa bergerak dengan bebas.
|
|
Ilustrasi 9.
Dinding Kandang
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa dinding kandang sapi perah terbuat dari dinding
tembok. Dinding yang terbuat dari semen (tembok) dapat membuat konstruksi
kandang semakin kokoh. Pemilihan bahan pembuatan dinding tembok seharusnya
disesuaikan dengan banyaknya modal yang dimiliki sehingga modal tersebut dapat
mencukupi semua kebutuhan. Pemberian
dinding pada kandang sapi bertujuan untuk menghalau tiupan angin sehingga tidak
langsung mengenai tubuh ternak. Hal ini sesuai dengan Yulianto dan Saparinto
(2012) yang menyatakan bahwa pada daerah yang sering terjadi tiupan angin maka
dalam pembuatan kandang perlu adanya dinding pembatas untuk menghalau tiupan
angin. Pembuatan dinding kandang dapat menggunakan tipe semi terbuka yaitu
dengan tinggi sekitar 1,5 meter untuk memperlancar pertukaran udara dan agar
sinar matahari pagi dapat masuk ke dalam kandang. Arifin (2015) Menyatakan
bahwa dinding yang dibuat dengan semi terbuka akan memperlancar pertukaran
udara dalam kandang dan sinar matahari pagi dapat masuk yang baik untuk tubuh ternak
dan akan memperlancar sirkulasi darah.
3.2. Fisiologi Ternak
Fisiologi ternak
merupakan suatu keadaan pada tubuh ternak yang menunjukkan kerja sistem tubuh
ternak yang saling berhubungan dengan kondisi lingkungan pada sekitar kandang
yang bertujuan untuk menjaga kondisi tubuh ternak tetap dalam keadaan nyaman.
MenurutSurjowardojo dan Ihsan (2010) yang menyatakan bahwa fisiologi ternak
menggambarkan kerja sistem metabolisme tubuh pada saat ternak mengalami cekaman
panas. Kondisi fisiologi ternak yang dapat diamati dan diukur antara lain
frekuensi nafas, suhu tubuh, frekuensi defekasi, frekuensi urinasi, konsumsi
air minum dan frekuensi denyut nadi. Keadaan fisiologi ternakdapat digunakan sebagai tolak ukuruntuk
mengetahui kesehatan tubuh
ternak
serta mengetahui tingkat kenyaman ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Palulungan dkk. (2013) yang menyatakan bahwa fisiologi ternak sapi perah dapat
dilihat berdasarkan suhu tubuh ternak, frekuensi denyut nadi dan frekuensi
nafas. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi fisiologi ternak yaitu tinggi rendahnya suhu lingkungan, tingkat kelembaban udara serta aktivitas dan jumlah air yang
diminum. Hal ini sesuai dengan pendapat Utomo dkk. (2009) yang menyatakan bahwa
kondisi fisiologi
lingkungan seperti suhu dan tingkat
kelembaban
udara dapat mempengaruhi kondisi fisiologi ternak yang selanjutnya berpengaruh
terhadap kemampuan ternak dalam berproduksi akibat adanya perubahan keseimbangan
panas dan tingkah laku.
3.2.1.
Suhu tubuh
Berdasarkan
praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui sebagai berikut :
Ilustrasi 10. Grafik Suhu Tubuh
Berdasarkan ilustrasi
diatas diketahui bahwa rata-rata suhu tubuh sapi laktasi termasuk normal yaitu
37.96 °C. Suhu rektal merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk
mengukur suhu tubuh karena kisaran suhunya relatif konstan dan mudah cara
pengukurannya. Mariana dkk. (2016) menyatakan bahwa nilai rataan suhu rektal
sapi perah berkisar pada angka 37.94 °C. Faktor yang mempengaruhi suhu tubuh
antara lain suhu lingkungan kandang dan kelembaban udara. Suhu lingkungan yang
tinggi menyebabkan tubuh ternak mengalami kenaikan suhu. Hal ini sesuai dengan
perndapat Asmayadi dkk. (2016) bahwa suhu tubuh pada ternak akan selalu berubah
bergantung pada aktivitas di dalam dan di luar tubuh.
3.2.2.
Denyut nadi
Berdasarkan praktikum
yang telah dilaksanakan dapat diketahui sebagai berikut :
Ilustrasi 11. Grafik Denyut Nadi
Berdasarkan ilustrasi diatas diketahui
bahwa rata-rata frekuensi denyut nadi pada sapi laktasi berada pada angka
normal yaitu 55 kali/menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Yani dan Purwanto
(2006) menyatakan bahwa rata-rata nilai standar denyut jantung sapi perah
berkisar 50 – 80 kali/menit tergantung daerah pemeliharaan ternak tersebut.
Tingginya frekuensi denyut nadi merupakan akibat dari stress panas yang dialami
ternak karena tingginya suhu lingkungan. Menurut Ghardien dkk. (2016)
menyatakan bahwa tingginya frekuensi nadi disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain tingginya beban panas dari luar maupun dari dalam tubuh ternak.
3.2.3. Frekuensi nafas
Berdasarkan praktikum
yang telah dilaksanakan dapat diketahui sebagai berikut:
Ilustrasi 12. Grafik Frekuensi Nafas
Berdasarkan ilustrasi
diatas diketahui bahwa rata-rata frekuensi nafas sapi laktasi berada diatas
angka normal yaitu 58 kali/menit. Hal ini sesuai dengan Yani dan Purwanto (2006)
menyatakan bahwa normalnya frekuensi nafas sapi perah berkisar antara 31 – 48
kali/menit. Faktor yang mempengaruhi frekuensi nafas adalah suhu udara yang
terlalu tinggi dan menyebabkan ternak mempercepat laju respirasi untuk membuang
panas dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ghiardien dkk. (2016)
bahwa peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika terdapat peningkatan
permintaan oksigen dari tubuh dan kondisi lingkungan maupun kelembaban yang
relatif tinggi.
3.2.4.
Konsumsi air minum
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:
Ilustrasi 13. Grafik konsumsi air
minum
Berdasarkan
ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa rata – rata konsumsi air minum sapi
perah yaitu sebanyak 47,9 liter. Konsumsi air minum tersebut tergolong dalam
keadaan baik karena berada pada rentang standar konsumsi minum sapi perah yaitu
minimal 30 – 50 liter per hari. Widiyantono (2016) menyatakan bahwa konsumsi
air minum per hari sapi perah laktasi yaitu 30 – 50 liter/hari. Banyak
sedikitnya air yang dikonsumsi sapi perah dapat dipengaruhi oleh adanya kondisi
cekaman panas (stres). Putra (2009) menyatakan bahwa jumlah kebutuhan air minum
sapi perah laktasi dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, produksi susu, kadar
air pakan dan ukuran tubuh ternak. Hal ini didukung oleh pendapat Sudrajat dan
Adiarto (2013) yang menyatakan bahwa ternak ketika mengalami cekaman panas atau
stres maka ternak akan berusaha beradaptasi mengurangi konsumsi pakan,
meningkatkan frekuensi dan jumlah minum, meningkatkan frekuensi nadi dan nafas
serta meningkatkan produksi saliva dan keringat.
3.2.5. Frekuensi urinasi dan defekasi
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa frekuensi urinasi selama 24 jam
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pengamatan Urinasi
dan Defekasi
Hari Ke
|
Frekuensi Urinasi
|
Frekuensi Defekasi
|
1
|
8
|
10
|
2
|
10
|
10
|
Jumlah
|
18
|
20
|
Rata-rata
|
9
|
10
|
Frekuensi urinasi
ternak sapi perah selama 24 jam dihasilkan sebanyak 9 kali, banyaknya urin yang
dikeluarkan ternak selama 24 jam termasuk normal karena dapat dipengaruhi dari
banyaknya konsumsi air yang diminum oleh ternak. Menurut Robichaud dkk. (2011)
bahwa selama 24 jam ternak sapi perah mampu berurinasi sebanyak 3 kali sampai
19 kali. Hasil dari praktikum menunjukkan bahwa frekuensi defekasi pada sapi
perah yaitu 10 kali selama 24 jam pengamatan dan termasuk dalam keadaan normal.
Riyanthi (2006) menyatakan bahwa sapi perah memiliki nilai normal dalam
frekuensi defekasi selama 24 jam yaitu sebanyak 3 – 18 kali. Faktor yang dapat mempengaruhi ternak
berurinasi dan defekasi yaitu suhu lingkungan yang mengakibatkan konsumsi air
minum meningkat, pemberian pakan hijauan dan konsentrat dan pada saat setelah
melakukan pemerahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Emberston dkk. (2009) yang
menyatakan bahwa ternak sapi perah dapat
berurinasi dan berdefekasi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu
kandang, kondisi lingkungan, pemberian pakan dan pada saat mengkonsumsi air
minum.
3.3. Perkembangan Ambing
Perkembangan ambing pada ternak perah
dibagi ke dalam lima fase yaitu fase prenatal, fase postnatal, fase pubertas,
fase kebuntingan dan fase laktasi. Lestari (2006) menyatakan bahwa terdapat empat
fase dalam pembentukan mamae adalah fase perkembangan embrionik, fase perkembangan
fetus, fase perkembangan postnatal dan fase perkembangan saat kebuntingan
ternak. Fase prenatal atau fase embrional diawali dengan adanya sel – sel
epitel tebal dan kecil yang dinamakan mammary
band pada hari ke 32. Perkembangan fase prenatal selanjutnya yaitu mammary streak pada hari ke 34, mammary line pada hari ke 35, mammary cress pada hari ke 37, mammary hillock pada hari ke 40 dan mammary bud pada hari ke 43. Fase kedua
pada perkembangan ambing yaitu fase fetus dimana terjadi perkembangan kelenjar mammae hingga tumbuh puting. Tahapan
pada fase fetus yaitu primary sprout
(kecambah primer), secondary sprout
(kecambah sekunder), saluran primary
sprout, perkembangan gland cistern
dan teat cistern, dan selanjutnya
yaitu perkembangan median suspensory
ligament. Fase ketiga perkembangan ambing yaitu fase pubertas. Perkembangan
ambing pada fase pubertas ditandai dengan adanya peningkatan jaringan ikat dan
lemak, serta adanya kerja hormon esterogen dan progesteron. Zaenudin dkk. (2015)
menyatakan bahwa sapi dara yang belum matang atau mencapai masa pubertas,
secara struktural tumbuh pembuluh mammae
dan alveoli, serta perkembangan kelenjar mammae
dipengaruhi oleh hormon progesteron dan esterogen.
Perkembangan ambing pada
fase kebuntingan ditandai dengan bekerjanya sel-sel sekretori untuk proses biosintesis
susu dan alveoli serta terjadinya peningkatan jumlah sel epitel. Triani (2011) menyatakan
bahwa perkembangan kelenjar mammae
pada saat kebuntingan terjadi secara maksimal untuk mempersiapkan proses produksi
susu. Hal ini didukung oleh pendapat dari Zainudin dkk (2015) yang menyatakan
bahwa kelenjar mammae saat masa
kebuntingan akan tumbuh dan berkembang secara cepat dan optimal untuk memproduksi
susu. Fase perkembangan ambing yang terakhir yaitu fase laktasi, dimana pada
fase ini ambing ternak telah mampu bekerja secara utuh untuk memproduksi susu
stelah pedhet lahir. Produksi susu yang pertama setelah kelahiran tidak boleh
langsung diperah karena susu yang pertama kali diproduksi adalah kolostrum.
Kolostrum sebaiknya diberikan kepada pedhet karena dalam kolostrum kaya akan
antobodi. Sangbara (2011) menyatakan bahwa kelenjar susu pada ternak sapi perah
akan mengeluarkan kolostrum setelah kelahiran pedhet yang di dalamnya terdapat
bahan – bahan antibodi yang dapat melindungi pedhet dari penyakit setelah
kelahiran.
3.4.
Anatomi biologis ambing
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa bagian ambing terdiri dari
bagian eksterior dan interior sebagai berikut:
|
1. Medial suspensory ligament
2. Membrane vine
3. Lateral suspensory ligament
4. Outer wall
|
Ilustrasi 14.
Bagian-bagian Eksterior Ambing
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa bagian eksterior ambing
terdiri dari medial suspensory ligament
yang berfungsi sebagai sekat pemisah antara ambing kanan dan kiri. Membrane fine memiliki fungsi sebagai
sekat pemisah antara ambing depan dan belakang. Adanya sekat pemisah ini
berfungsi untuk membagi ambing menjadi empat bagian dan juga untuk mencegah
penyebaran penyakit dari satu kuartir ke kuartir yang lain. Haerah (2015)
menyatakan bahwa medial suspensory
ligament dan lateral suspensory
ligament berfungsi sebagai penyekat yang membagi ambing menjadi empat
kuartir yang saling terpisah sehingga dapat mencegah penyebaran penyakit dari
satu kuartir ke kuartir yang lain. Pabana (2011) menyatakan bahwa adanya
pembagian ambing menjadi empat kuartir ini akan memudahkan dalam proses
pemerahan.
Bagian
eksterior ambing yang lain yaitu lateral suspensory
ligament dan outer wall. Lateral
suspensory ligament berfungsi untuk menopang ambing agar tetap menempel
pada abdomen. Pabana (2011) menyatakan bahwa pada ambing terdapat bagian yang
disebut dengan lateral suspensory
ligament yang berfungsi sebagai penggantung ambing agar tetap menempel pada
abdomen. Outer wall memiliki fungsi
sebagai pelindung ambing dari pengaruh luar. Hal ini sesuai dengan pendapat
Rahayu (2015) yang menyatakan bahwa ambing memiliki bagian luar (outer wall) yang berfungsi sebagai
pelindung ambing dari berbagai pengaruh luar seperti lingkungan.
|
1. Alveolus
2. Lobulus
3. Lobus
4. Milk duct
5. Gland
cistern
6. Annular
fold
7. Teat
cistern
8. Teat
meatus
9. Streak
canal
10. Lumen
11.
Myoephitel
12.
Secretory cell
|
Ilustrasi 15.
Bagian-bagian Interior Ambing
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan dapat diketahui bahwa bagian interior ambing terdiri atas alveolus yang merupakan unit-unit
sekretori yang didalamnya terdapat lumen yang berfungsi untuk menyerap
prekursor susu yang dibawa oleh darah dan juga untuk mencampur komponen susu
menjadi satu sebelum dikeluarkan. Pabana (2011) menyatakan bahwa alveolus ambing merupakan unit-unit sel
sekretori yang didalamnya terdapat bagian yang disebut lumen. Gabungan dari beberapa alveolus
akan menjadi lobulus, sedangkan
gabungan dari beberapa lobulus akan
membentuk lobus. Haerah (2015)
menyatakan bahwa alveolus merupakan
struktur utama untuk membentuk susu karena didalamnya terdapat lumen yang berfungsi sebagai alat untuk penyerapan prekursor susu dalam darah,
kumpulan alveolus akan membentuk lobulus dan kumpulan lobulus akan membentuk lobus. Cairan susu dari lumen akan dialirkan menuju glandcistern melalui milkduct.
Glandcistern memiliki fungsi sebagai wadah penampung susu yang sebelumnya
mengalir dari lumen. Annularfold berfungsi sebagai penahan susu agar tidak keluar dari glandcistern serta sebagai pencegah
masuknya bakteri yang dapat menyebabkan penyakit pada
saat proses pemerahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu (2015) yang menyatakan
bahwa glandcistern merupakan wadah atau tempat penampung susu yang berasal dari
berbagai milkduct yang terdapat annularfold sebagai penahan tekanan susu, dimana glandcistern
ini berhubungan dengan teatcistern. Teatcistern memiliki fungsi sebagai
wadah penampung susu setelah dikeluarkannya susu dari glandcistern. Teat meatus
berfungsi sebagai tempat keluarnya susu dari streak canal. Streak canal
memiliki fungsi sebagai lubang keluarnya susu dari dalam tubuh ternak ketika pada saat proses pemerahan. Streak canal pada saat tidak terjadi
pemerahan harus dalam keadaan tertutup agar tidak ada mikroorganisme yang masuk
pada ambing. Hal ini sesuai dengan pendapat Pabana (2011) yang menyatakan bahwa
streak canal merupakan bagian
terakhir yang akan dilewati oleh susu ketika terjadi proses pemerahan.
3.5. Biosintesis susu
Berdasarkan praktikum
yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa sel-sel sekretori yang terdapat pada kelenjar susu menggunakan
nutrisi dari bahan pakan yang dikonsumsi oleh hewan ternak untuk mensintesis
susu. Menurut Lestari (2006) Sintesis susu dilakukan oleh sel–sel sekretori pada
kelenjar susu dengan menggunakan nutrisi dari bahan makanan yang dikonsumsi.
Biosintesis susu yang terjadi di dalam ambing meliputi biosintesis protein,
lemak dan laktosa. Pada saat siklus estrus dan tahap awal kebuntingan hormon
mamogenik (estrogen, progesteron dan relaksin) disekresi oleh ovarium dan
korpus luteum, namun selama periode kebuntingan sekresi hormon mamogenik
(estradiol, progesteron dan laktogen plasenta) dilakukan oleh organ plasenta.
Tahap laktasi, sÃntesis susu
dikontrol oleh hormon tiroksin (sÃntesis protein), paratiroid (sÃntesis Ca dan
P), insulin (sÃntesis glukosa) dan aldosteron (sÃntesis elektrolit dan
mineral), sedangkan sekresi susu lebih banyak dikontrol oleh hormon prolaktin
dan oksitosin. Andrews dkk.(2008)
menyatakan bahwa jumlah dan aktivitas sel sekretori selama laktasi dipengaruhi
oleh pertumbuhan dan perkembangan kelenjar ambing. Komponen yang terdapat di dalam susu antara
lain air, lemak, protein, laktosa, SNF
(Solid Non Fat) atau bahan kering tanpa lemak dan Total Solid (TSL). Komposisi
susu antara lain 3,7% lemak susu, 4,9% laktosa dan 3,5% protein. Air merupakan
medium dispersersi lemak dan komponen yang larut dalam air susu sehingga kadar
air dalam susu tinggi yaitu 87,5%. Faktor yang mempengaruhi komponen susu yaitu
pakan yang dikonsumsi oleh sapi perah, umur sapi, iklim dan waktu pemerahan.
Ilustrasi 16. Skema Biosintesis
Protein Susu
Pakan yang dimakan oleh ternak mengandung protein dan
Non Protein Nitrogen (NPN). Protein di rumen dibagi menjadi dua yaitu Rumen
Degradable Protein (RDP) dan Rumen Undegradable Protein (RUP). RDP di rumen
mengalami degradasi menjadi NH3 yang digunakan oleh mikroba untuk
sintesis protein dalam tubuhnya. Menurut Hindratiningrum (2011) Amonia (NH3) digunakan untuk
membangun sel mikroba yang terbentuk dari proses deaminasi asam amino. Protein
mikroba kemudian diserap oleh usus halus kedalam darah dan menghasilkan asam
amino. RUP di rumen mengalami by pass ke
usus halus dan menghasilkan asam amino. Asam amino merupakan bahan baku untuk
sintesis protein susu yang dilakukan oleh sel-sel sekretori di ribosom yang
mengandung bahan genetik (DNA), sebagian besar dari ribosome terikat pada
membran rangkap dari endoplasmik retikulum, tetapi sebagian lainnya terletak
bebas di dalam sitoplasma.Sintesis protein susu terjadi didalam sel epitel yang
dikontrol oleh gen yang mengandung kode genetik yaitu Deoxyribonucleic acid
(DNA). Urutan pembentukan protein susu yaitu dimulai dengan replikasi
dari DNA, dilanjutkan transkripsi dari Ribonucleic
acid (RNA) dari DNA, kemudian translasi terbentuknya protein menurut
informasi RNA. Aisyah (2011) menyatakan bahwa sintesis protein susu mengalami 3
proses yaitu replikasi, transkripsi dan translasi. Non Nitrogen Protein (NPN)
yang mengandung banyak urea akan langsung masuk ke rumen menjadi protein
mikroba. Non Nitrogen Protein (NPN) terdapat dalam jumlah yang sangat kecil
(trace), yang terbentuk dari hasil metabolisme nitrogen dalam tubuh sapi dan
dalam sistesis susu. Contoh dari Non Nitrogen Protein (NPN) tersebut yaitu
amonia, urea, kreatinin, metil guanidine, asam urat, adenin, guanin,
hipoxantin, asam orotik, asam hipurat dan indikan.
Ilustrasi
17. Skema Biosintesis Lemak Susu
Pakan yang dimakan oleh ternak mengandung serat kasar.
Serat kasar di rumen mengalami fermentasi yang dilakukan oleh mikroba rumen
menghasilkan Volatil Fatty Acid
(VFA). Volatil Fatty Acid (VFA) akan
terbagi menjadi 3 yaitu propionat, asetat dan butirat. Asetat merupakan bahan
baku untuk sintesis lemak. Menurut Mutamimah dkk.
(2013) bahwa asetat merupakan prekursor lemak susu yang diserap oleh usuh halus
masuk kedalam darah kemudian di ubah menjadi asam lemak yang akan masuk kedalam
sel-sel sekresi ambing dan menjadi lemak susu. Beta Hidroksi Butirat Acid (BHBA) dari butirat juga digunakan untuk
sintesa asam-asam lemak. BHBA digunakan untuk rantai karbon permulaan sebagai
tambahan unit-unit C2 dan sebagian untuk pembentukan unit-unit C2
dan digunakan sebagai unit Acetyl CoA untuk sintesa asam lemak. Menurut
pendapat Mulyati dan Purnomoadi (2007) bahwa asam butirat kemudian akan diubah
menjadi asam b-hidroxy butirat oleh
dinding rumen kemudian diabsorpsi melalui dinding rumen ke dalam darah yang
bersama asam asetat dan lemak darah merupakan prekursor untuk sintesis asam
lemak susu. Asam lemak kemudian diserap oleh usus halus dan sel-sel sekretori
yang berada di sitoplasma mengubah asam-asam lemak menjadi lemak susu.
Kandungan lemak pada susu bervariasi antara 3 – 6 %. Lemak akan mengalami
dispersi dalam bentuk globula atau butiran-butiran kecil dan mengalami emulsi
antara lemak dengan air yang terjadi didalam usus. Globula tersebut memiliki ukuran
antara 0,5 sampai 20 mikron dengan rata-rata 3 mikron. Setiap tetes susu
mengandung 100 juta globula lemak yang sangat penting di dalam proses pemisahan
lemak dari susu pada saat proses churning (pemisahan lemak dari susu pada saat
pembuatan mentega). Setiap globula pada lemak dikelilingi oleh suatu lapisan
tipis yang terdiri atas fosfolipida dan protein.
Ilustrasi 18. Skema Biosintesis Laktosa Susu
Pakan hijauan yang dimakan oleh ternak mengandung
serat kasar yang tinggi. Serat kasar yang tinggi tersebut masuk ke dalam rumen
dan mengalami fermentasi yang dilakukan oleh mikroba rumen untuk menghasilkan Volatil Fatty Acid (VFA). Volatil Fatty Acid (VFA) dibagi menjadi
3 yaitu propionat, asetat dan butirat. Propionat merupakan salah satu bahan
baku yang digunakan untuk sintesis laktosa susu. Propionat dapat diubah menjadi
glukosa melalui proses glukoneogenesis yang berada di hati, di dalam hati terjadi
proses glukoneogenesis yang akan membentuk glukosa, dibawa darah yang akan
menuju sel sekretori. Menurut pendapat Yusuf
(2010) propionat di hati akan
mengalami proses glukoneogenesis sehingga terbentuk glukosa. Sel-sel
sekretori yang berada di aparatus golgi akan mengubah glukosa menjadi laktosa
susu. Laktosa susu merupakan salah satu komponen sumber karbohidrat utama yang
terdapat didalam susu sebanyak 4,8% dan memberikan rasa manis pada susu. Hal
ini sesuai dengan pendapat Susilowati dkk. (2013) menyatakan bahwa laktosa susu
adalah sumber karbohidrat utama dalam susu yang memberikan rasa manis pada
susu. Kadar laktosa yang terkandung dalam susu adalah 4,8%. Laktosa merupakan
senyawa disakarida, apabila laktosa tersebut dihidrolisa akan menghasilkan dua
macam molekul karbohidrat sederhana yaitu glukosa dan galaktosa. Laktosa dapat
mempengaruhi stabilitas dari titik beku, titik didih, dan tekanan osmosis pada
susu karena laktosa dapat larut dalam susu. Laktosa mampu di fermentasi oleh
bakteri-bakteri tertentu yang akan menghasilkan asam laktat sehingga dapat
menyebabkan rasa asam dari susu.
3.6.
Milk
Let Down
Berdasarkan praktikum yang telah
dilakukan dapat digambarkan diagram sebagai berikut:
|
Ilustrasi 19. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu Positif
Milk
let down merupakan proses pengeluaran susu dari tubuh ternak
yang diawali oleh adanya rangsangan yang melewati tahapan dari sistem kerja
hormon, sistem pembuluh darah hingga keluar tubuh ternak.Rangsangan syaraf
seperti gerakan pedet menyusu, usapan, tekanan dan basuhan air hangat
menyebabkan lubang puting susu terbuka sehingga air susu mengalir keluar tubuh
ternak. Terdapat dua jenis rangsangan ketika terjadi proses milk let down yaitu rangsangan positif
yang berupa pengeluaran hormon oksitosin yang menyebabkan susu mengalir keluar dan
rangsangan negatif yang berupa pengeluaran hormon epineprin yang menyebabkan susu tidak keluar.
Proses milk let downrangsangan
positif diawali dengan adanya rangsang yang dikirim melalui spinalis cord menuju hipotalamus yang
merangsang releasing
factoroxytocin
yang dibawa menuju hipofisa posterior
kelenjar posterior pituitary dan
menghasilkan hormon oksitosin. Menurut Kentjonowaty dkk. (2014) bahwa
pengeluaran susu dari tubuh ternak oleh ambing dipengaruhi oleh kerja dari hormon oksitosin yang sebelumnya
dilepaskan oleh kelenjar pituitary
posterior yang merupakan stimulator pemberi perintah pada alveolus di
ambing untuk mengeluarkan susu. Proses selanjutnya adalah dibawa melalui vena jugularis menuju jantung dan
dipompa melalui aorta, dialirkan
lewat arteri pudenda interna yang ada
di perut dan arteri pudenda eksterna
yang ada di punggung kemudian dibawa menuju sel sekretori untuk dialirkan
menuju lumen dimana hormon oksitosin yang telah dihasilkan akan merangsang
kontraksi mioepitel sel. Hal ini sesuai dengan pendapat Surjowardojo dkk.
(2016) yang menyatakan bahwa proses keluarnya susu dirangsang oleh kerja hormon
oksitosin yang dihasilkan kelenjar
pituitary posterior. Susu yang
dihasilkan selanjutnya akan ditampung sementara di gland cistern yang selanjutnya
dialirkan
dariteat meatus melalui sistem kerja annular fold dan dikeluarkan dari streak canal yang merupakan bagian terakhir pengeluaran susu.
Ilustrasi 20. Diagram Alir Proses Pengeluaran Susu
Negatif
Proses pengeluaran susu rangsang negatif diawali dengan adanya
rangsangan berupa rasa sakit pada ternak yang dibawa melalui spinalis cord
menuju hipotalamus, diteruskan menuju hipofisa
posterior yang merangsang disekresikannya hormon epineprine oleh kelenjar
adrenal. Hal ini sesuai dengan pendapat Kentjonowaty dkk. (2014) yang
menyatakan bahwa ketika pengurutan pada kelenjar mammae terlalu kuat akan
menimbulkan rangsang rasa sakit yang mengakibatkan kelenjar adrenalin menghasilkan
hormon eprineprin. Epineprinkemudian dibawa melalui vena jugularis menuju jantung dan
dipompa melalui aorta, dialirkan
lewat arteri pudenda interna yang ada
di perut dan arteri pudenda eksterna yang ada di punggung kemudian dibawa
menuju sel sekretori dan lumen dimana
hormone epineprin akan menghambat mioepitel
sel untuk berkontraksi sehingga tidak terjadi pengeluaran susu. Tristy
(2009) menyatakan bahwa peningkatan hormon epineprin yang disekresikan kelenjar
adrenalin mengakibatkan laju hormon oksitosin terhambat di dalam pembuluh darah
yang menyempit.
3.7. Kualitas susu
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan
diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Kualitas Susu Sapi Perah
No.
|
Identitas
Sapi
|
BJ
Susu
|
Produksi
susu
|
1.
|
Sapi
nomor 2
|
-------g/ml-------
1,0265
|
---------l--------
13
|
2.
|
Sapi
nomor 1
|
1,0307
|
9
|
3.
|
Sapi nomor
9
|
1,0241
|
9
|
4.
|
Sapi
nomor 11
|
1,0280
|
7
|
Berat jenis susu pada air
susu yang telah diuji yaitu 1,0241 g/ml pada susu segar. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil berat jenis susu segar berada dibawah nilai normal. Awitri dkk.
(2010) menyatakan bahwa standar nilai berat jenis susu segar yang normal menurut
Badan Standarisasi Nasional (1998) yaitu 1,028 dengan suhu 27,5 0C. Nilai berat jenis susu sapi nomor 9 merupakan yang
paling rendah dibandingkan dengan nilai berat jenis susu sapi yang lain.
Kandungan lemak dan bahan padatan bukan lemak yaitu berupa laktosa, protein dan
mineral merupakan faktor yang dapat mempengaruhi nilai berat jenis susu. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kadar lemak, maka semakin rendah
nilai berat jenis susu tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Utami dkk.
(2014) yang menyatakan bahwa nilai berat jenis pada susu segar dapat
dipengaruhi oleh kandungan bahan yang dapat larut dalam susu yaitu terdiri dari
lemak dan bahan bukan lemak.
3.8. Recording
Recording merupakan kegiatan pencatatan yang dilakukan terhadap
ternak untuk mengetahui pertumbuhan termak, produksi, reproduksi dan kesehatan
ternak. Menurut Kuswahyuni dkk. (2009) kegiatan recordingyang dilakukan meliputi silsilah keturunan ternak, jumlah
produksi susu, reproduksi ternak dan lainnya. Recording penting dilakukan oleh peternak, karena recording dapat membantu peternak dalam
menentukan jumlah pakan yang akan diberikan, menentukan jumlah produksi susu, menentukan
pemilihan pejantan dan indukan serta mengetahui kesehatan ternak sehingga dapat
dilakukan pencegahan gejala penyakitmaupun penanganan penyakit dan meningkatkan
keuntungan dari peternak. Susilorini dkk. (2008) berpendapat bahwa informasi
yang didapatkan dari pencatatan (recording)
dalam sebuah usaha peternakan sapi perah adalah hal yang penting bagi peternak.
Kamiludin (2009) menyatakan bahwa perlu dilakukan pencatatan yang lengkap untuk
melihat keadaan ternak yang dilihat dari aspek kesehatan, reproduksi, produksi
dan manajemen usaha ternak. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan
diperoleh hasil bahwa sapi nomor 9 berjenis kelamin betina, memiliki keturunan
tetua jantan bangsa Friesian Holstein (FH) dan induk bangsa Peranakan
Friesian Holstein (PFH) dan
tubuh sapi berwarna dominan hitam.
Produksi susu sapi
nomor 9 dari bulan laktasi 1 sampai bulan laktasi ke 10 rata-rata 8,8
liter/hari. Nilai produksi susu sapi nomor 9 ini masih tergolong rendah.
Menurut Putra (2009) sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) umumnya memiliki
kemampuan memproduksi susu yang rendah yaitu 10 liter/hari. Hal ini didukung
oleh pendapat Utami dkk. (2014) yang menyatakan bahwa rata-rata produksi susu
sapi perah Peranakan Friesian Holstein yaitu 12 liter/hari. Bangsa ternak sapi
perah, frekuensi pemerahan, kondisi lingkungan dan kandang ternak, umur ternak,
dan pemberian pakan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produksi susu ternak
sapi perah. Menurut Kamiludin (2015) beberapa hal yang mempengaruhi kemampuan
seekor ternak sapi perah dalam memproduksi susu diantaranya yaitu bangsa sapi,
masa laktasi, estrus atau berahi sapi, masa kering kandang, pemerahan dan
manajemen pemberian pakan.
Sapi nomor 9 memiliki riwayat penyakit radang uterus yang terjadi pada
tanggal 10 april 2017. Radang uterus pada ternak sapi perah dapat disebabkan
oleh adanya plasenta yang tertinggal didalam uterus. Hal ini sesuai dengan
pendapat Noor (2012) yang menyatakan bahwa plasenta yang tertinggal di uterus
ternak akan menyebabkan terjadinya peradangan uterus pada ternak. Upaya untuk
pengobatan yang dilakukan pada sapi tersebut yaitu menggunakan obat penstrep
dan biosolavet. Menurut Yahya (2017) untuk pengobatan pada peradangan uterus
dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya dengan melakukan penyuntikan.
Perkawinan pada ternak sapi perah dapat dilakukan dengan dua metode atau
cara, yaitu kawin secara alami dan inseminasi buatan dilakukan dengan
penyuntikan yang dibantu oleh seorang inseminator. Syarif dan Harianto (2011) berpendapat
bahwa ternak sapi yang tengah berahi sebaiknya segera dikawinkan. Terdapat dua
metode perkawinan ternak sapi perah yaitu secara alami dan buatan atau (IB)
Inseminasi Buatan. Sapi nomor 9 melakukan perkawinan secara alami. Perkawinan
alami pada ternak dilakukan tanpa membutuhkan bantuan dari alat dan manusia.
Hal ini sesuai dengan pendapat Fikar dan Ruhyadi (2010) yang menyatakan bahwa kawin
alami pada ternak dilakukan dengan mempertemukan pejantan dan betina yang
terseleksi serta tanpa campur tangan manusia. Sapi nomor 9 telah mengalami
partus pedet nomor A9. Pedet tersebut memiliki jenis kelamin betina dengan
bobot lahir 31 kg dalam keadaan normal dan sehat.
BAB V
SIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan praktikum Produksi
Ternak Perah disimpulkan bahwa kondisi fisiologi lingkungan yaitu meliputi suhu
lingkungan, kelembapan, radiasi matahari dan perkandangan sangat mempengaruhi
kondisi fisiologi ternak yaitu meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi
nafas, konsumsi air minum, frekuensi urinasi dan frekuensi defikasi. Apabila
kondisi fisiologi lingkungan baik maka kondisi fisiologi ternak juga baik yang
akan mempengaruhi peningkatan pada produktivitas ternak. Anatomi ambing terdiri
dari bagian interior dan bagian eksterior, masing-masing bagian memiliki fungsi
untuk memproduksi susu. Berat jenis susu dapat mempengaruhi kualitas pada susu,
faktor yang mempengaruhi berat jenis
susu yaitu kandungan larutan yang
terlarut dalam susu yang terdiri dari lemak dan bahan padat bukan lemak. Recording ternak dapat membantu dalam
menyeleksi ternak yang memiliki produktivitas yang tinggi.
5.2. Saran
Sebaiknya data recording Fakultas
Peternakan dan Pertanian di Universitas Diponegoro lebih lengkap lagi dan lebih
tertib dalam pencatatannya, supaya mahasiswa mampu memahami dengan mudah data recording
ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah,
S. 2013. Tingkat produksi susu dan kesehatan sapi perah dengan pemberian Aloe
barbadensis miller. J. Gamma. 7(1): 50 – 60.
Akoso, B.T. 2008. Kesehatan Sapi. Kanisius, Yogyakarta.
Andrews, A. H., R. W. Blower, H. Boyd, R. G. Eddy, J. Waley and Sons.
2008. Bovine Medicine Dicease and Husbandy of Cattle. Publising Company, Lowa.
Arifin,
M. 2015. Kiat Jitu Menggemukkan Sapi Secara Maksimal. AgroMedia Pustaka,
Jakarta.
Asmayadi.
K., L. B. Salman dan E. Hernawan. 2016. Kajian produksi susu sapi perah Fries Holland berdasarkan pemerahan pagi
dan sore di wilayah kerja KPSBU Lembang. Student e-journal Fakultas Peternakan.
Universitas Padjadjaran. Bandung.
Awitri, M. E, A. Manab, M. Ch. Padag, T. E. Susilorini, U.
Wisaptiningsih dan K. Ghozi. 2010. Kajian kualitas susu pasteurisasi yang
diproduksi U.D. Gading Mas selama penyimpanan dalam refrigerator. J. Ilmu dan
Teknologi Hasil Ternak 5(2): 28 – 32.
Embertson,
M. N. M., P. H. Robinson, J. G. Fadel and
F. M. Mitloehner. 2009.Effects of shade and sprinklers on
performance, behavior, physiology,and the environment of heifers.
J. Dairy Sci. 92 : 506 – 517.
Fikar, S dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis
Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Ghiardien.
A., B. P. Purwanto dan A. Atabany. 2016. Respon fisiologi sapi FH laktasi
dengan substitusi pakan pelepah sawit dengan jumlah yang berbeda. J. Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan 4(3): 350 – 355.
Gwatibaya, S., E. Svotwa and D. Jambwa. 2007. Potential effects and
management options for heat stress in dairy cows in zimbabwe. Dairy Science. 6(5): 2066 – 2074.
Haerah, D. 2015. Deteksi Streptococcusaureus Penyebab Mastitis
Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).
Hindratiningrum,
Novita. 2011. Produk fermentasi rumen dan produksi mikroba sapi lokal. Fakultas
Peternakan Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman.
Kamiludin, A. 2009. Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Sapi Perah di
Kawasan Peternakan Sapi Perah Cibunghulang Kabupaten Bogor. Fakultas
Peternakan,Institut Pertanian Bogor. (Skripsi).
Kentjonowaty,
I., P. Trisunuwati., T. Susilawati dan P. Surjowardojo. 2014. Significant
Influence of Mammae Hand Massage on Milk Yield in Dairy Cattle. J. Biology. 4(2):
86 – 89.
Kuswahyuni, I.
S., E. Kurnianto, N. L. Nuringtyas dan S. Johari. 2009. Accuracy of milk yield estimation in dairy cattle from monthly record by
regression method. J. Indonesia Trop.Anim.Agric. 34(3): 211 – 215.
Lestari, T. D. 2006.Laktasi pada Sapi Perah sebagai Lanjutan Proses
Reproduksi. Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. (Skripsi).
Mariana.
E., D. N. Haidi dan N. Q. Agustin. 2016. Respon fisiologis dan kualitas susu
sapi perah Friesian Holstein pada
musim kemarau panjang di dataran tinggi. J. Agripet 16(2): 131 – 139.
Mulyati,
J. A dan A. Purnomoadi. 2007. Produksi dan komponen lemak susu kambing
Peranakan Etawah akibat penghembusan udara sejuk. J. Pengembangan Peternakan
Tropis. 32(2): 91 – 99.
Mutaminah,
L., S. Utami dan A. T. A. Sudewo. 2013. Kajian kadar dan bahan kering tanpa
lemak susu Kambing Sapera di Cilacap dan Bogor. J. Ilmiah Peternakan. 1(3): 874
– 880.
Noor,
O. 2012. Manajemen Reproduksi pada Usaha
Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan, Universitas
Hassanudin, Makassar.(Skripsi).
Nugroho, A.T. K, P. Surjowardojo dan M. N. Ihsan. 2010.
Penampilan produksi sapi perah Friesian
Holstein (FH) pada berbagai paritas dan bulan laktasi di ketinggian tempat
yang berbeda. J. Ilmu-ilmu Peternakan 20(1): 55 – 64.
Pabana, T. 2011. Korelasi antara Dimensi Ambing dan Puting
terhadap Produksi Susu Kambing Perah Peranakan Etawa (PE). Fakultas Peternakan,
Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).
Palulungan, J. A., Adiarto dan T. Hartatik. 2013.
Pengaruh kombinasi pengkabutan dan kipas angin terhadap kondisi fisiologis sapi
perah peranakan Friesian Holland. Buletin Peternakan 37(3): 189 – 197.
Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih
pada Usaha Peternakan Sapi Perah (Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa
Tengah). Magister Ilmu Lingkungan,Universitas Diponegoro, Semarang. (Tesis).
Rahayu, S. 2015. Deteksi Streptococcusagalactiae Penyebab Mastitis
Subklinis pada Sapi Perah di Kecamatan Cendana Kabupaten Enrekang. Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. (Skripsi).
Riyanthi.
2006. Tingkah Laku Makan Sapi Peranakan
Friesian Holstein Laktasi yang diberi
Pakan Rumput Gajah dengan Ukuran Pemotongan yang Berbeda. Fakultas Peternakan
dan Pertanian, Universitas Diponegoro. (Skripsi).
Robichaud,
M.V., A. M. de Passillé, D. Pellerin and J.
Rushen. 2011. When and where do dairy cows defecate and
urinate. J. Dairy Sci. 94:4889 – 4896.
Salale,
C. C. L., B. Rorimpande, M. T. Massue dan P. O. V. Waleleng. 2014. Analisis
penggunaan faktor produksi pada perusahaan Ayam Petelur (Studi kasus pada U.D.
Kakaskaren Indah dan C.V. Nawarwa Farm). 34 : 1 – 14.
Sangbara,
Y. 2011. Pengaruh Periode Laktasi terhadap Produksi Susu pada Sapi Perah Fries
Holland di kabupaten Enrekang. Fakultas Peternakan, Universitas Hassanudin,
Makassar. (Skripsi)
Sudrajad, P dan Adiarto. 2011. Pengaruh stres panas terhadap
performa produksi susu sapi Friesian Holstein di Balai Besar Pembibitan Ternak
Unggul Sapi Perah Baturraden. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner, Teknologi
Peternakan dan Veteriner untuk Peningkatan Produksi dan Antisipatif terhadap Perubahan Iklim.
Yogyakarta. 7 – 8 Juni. Hal
Surjowardojo.
P dan M. N. Ihsan. 2013 Penampilan produksi sapi perah Friesian Holstein (FH) pada berbagai paritas dan bulan laktasi di
ketinggian tempat yang berbeda. J. Ilmu-Ilmu Peternakan 20(1): 55 – 64.
Surjowardojo.
P., P. Trisunuwati dan S. Khikma. 2016. Pengaruh Lama Massage dan Lam Milk Flow
Rate terhadap laju pancaran produksi susu sapi Friesian Holstein di PT
Greenfields Indonesia. J. Ternak Tropika. 17(1): 49-56.
Susilorini,
T. E., M. E. Sawitri dan Muharlein. 2008. Budidaya 22 Ternak Potensial. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Susilowati,
D. R., S. Utami, H. A. Suratim. 2013. Nilai berat jenis dan total solid susu
Kambing Sapera di Cilacap dan Bogor. J. Ilmiah Peternakan. 1(3): 1071 – 1077.
Syarif,
E. K dan B. Harianto. 2011. Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Syukur,
A. dan B. Suharno. 2014. Bisnis Pembibitan Kambing. Penebar Swadaya, Jakarta.
Triani. 2011. Analisis Produksi Susu, Persentase Protein
Susu dan Konsumsi Hijauan Sapi FH (Fries Holland) Pada Tingkat Laktasi yang Berbeda di Upt Ruminansia Besar Dinas Peternakan Kabupaten Kampar. Fakultas
Pertaniandan Peternakan,Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,
Pekanbaru. (Skripsi).
Tristy,
N. H. 2009. Hubungan Antara Kecepatan
Pemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan Sapi Perah Rakyat
Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan. Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi).
Triyanton.
2009. Manajemen Pemeliharaan Pedhet Sapi Perah di Peternakan Sapi Perah CV.
Mawar Mekar Farm Kabupaten Karanganyar. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
(Skripsi).
Utami, K. B., L.E. Radiati dan P. Surjowardojo. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi
kasus pada anggota Koperasi Agro Niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan. 24(2):
58–66.
Utomo, B., D. P. Miranti dan G. C. Intan. 2009. Kajian
termoregulasi sapi perah periode laktasi dengan introduksi teknologi
peningkatan kualitas pakan. Dalam: Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Teknologi
Peternakan dan Veteriner Mendukung Industrialisasi Sistem Pertanian untuk Meningkatkan Ketahanan
Pangan dan Kesejahteraan Peternak. Bogor. 13 – 14 Agustus. Hal 263
– 268.
Widiyantono,
E. N. 2016. Pengaruh Pemberian Pakan dengan Imbangan Konsentrat dan Hijauan Yang
Berbeda Terhadap Kandungan Laktosa Dan Air Pada Susu Sapi Perah. Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi).
Yahya,
M. I. 2017. Tingkat Kejadian Gangguan Reproduksi Ternak Sapi Perah di Kabupaten
Enrekang. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi).
Yani, A. 2007. Analisis dan
Simulasi Distribusi Suhu Udara pada Kandang Sapi Perah menggunakan Computational Fluid Dynamics (CFD).
Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Yani.
A dan B. P. Purwanto. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respons fisiologis
sapi peranakan Fries Holland dan
modifikasi lingkungan untuk meningkatkan produktivitasnya. J. Media Peternakan.
29(1): 35 – 46.
Yulianto,
P. dan C. Saparinto. 2014. Beternak Sapi Limousin. Penebar Swadaya, Jakarta.
Yulianto,
P. dan C. Saparinto. 2014. Penggemukan Sapi Potong Hari Per Hari 3 Bulan Panen.
AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Yusuf,
R. 2010. Kandungan protein susu sapi perah Friesian Holstein akibat pemberian pakan
yang mengandung tepung katu (Sauropus
androgymus (L.) Merr) yang berbeda. J. Teknologi Pertanian. 6(1): 1 – 6.
Zainudin,
M., M. N. Ihsan dan Suyadi. 2015. Efisiensi reproduksi sapi perah PFH pada
berbagai umur di CV. Milkindo Berka Abadi Desa Tegalsari Kecamatan Kepanjen
Kabupaten Malang. J. Ilmu – Ilmu Peternak. 24(3) : 32 – 37.
0 komentar:
Posting Komentar